Selasa, 28 April 2009

Nilai Edukasi dalam Berbusasna Muslim

Nilai-nilai Pendidikan dalam Pensyari’atan Busana Muslimah
ABSTRAK

Busana muslimah merupakan busana yang dipakai khusus oleh wanita-wanita Islam, karena pada dasarnya busana wanita banyak ragamnya hal ini sangat tergantung daerah dan budaya yang berkembang dalam suatu negara. Namun Islam sangat menekankan kewajiban berbusana muslimah sebagaimana yang dituangkan dalam surat An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59 yang merupakan landasan kuat bagi wanita muslim diwajibkan memakai busana muslimah.
Berbusana muslimah sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an dan Hadits sangat ditekankan kepada wanita muslim sejak mulai aqil baligh, namun untuk membiasakan anak gemar berbusana muslimah hendaknya dimulai sejak usia dini, sehingga anak tidak merasa canggung dalam mengenakan busana muslimah keluar rumah ketika merasa sudah dewasa. Di samping itu anjuran berbusana muslimah ini merupakan salah satu pencegahan terhadap terjadinya berbagai pelecehan seksual yang kerap terjadi dewasa ini, di samping itu akan menjaga wanita lebih aman dan tentram ketika keluar rumah dari pengaruh dan gaduan laki-laki asing.
Berbusana muslimah memiliki banyak nilai yang terkandung di dalamnya di antaranya: nilai keimanan, nilai akhlak, nilai ibadah, nilai estetika, nilai kewibawaan serta nilai kedisiplinan sehingga gaung busana ini tidak hanya sebagai kewajiban, namun memiliki daya pesona yang luar biasa bagi wanita.

Kemunduran Pendidikan Islam

Kemunduran Pendidikan Islam
(Kilas Balik Sejarah dan Kontekstualisasi)
Muhajir bin Murlan, M.Ag

I. Pendahuluan
Dalam catatan sejarah, tidak ada satupun peradaban yang pernah jaya yang tidak disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh dan seriaus serta perhatian yang sangat besar dalam bidang pendidikan. Hal ini sepenuhnya berlaku untuk kejayaan peradaban Islam yang mampu tampil memimpin dunia selama berabad-abad lamanya walaupun pada akhirnya kebudayaan Islam dan kejayaannya telah mengalami kemunduran- untuk tidak mengatakan kehancuran- serta hanyalah tinggal kenangan sejarah yang terangkum dalam catatan histories, digantikan dan diambil oleh peradaban Barat.[1]
Berbicara tentang sejarah kemunduran pendidikan Islam tidak terlepas dari kemelut politik yang dialami oleh umat Islam.[2] Karena faktor politik turut mewarnai maju mundurnya pendidikan suatu bangsa. Kehidupan dan suasana politik suatu bangsa yang mapan dan maju merupakan salah satu aspek yang turut memainkan peranbagi maju maupun mundurnya pendidikan bangsa tersebut. Apabila kondisi politik stabil, tentu saja faktor pendidikan dan pengembanganya akan lebih baik. Sebaliknya jika tatanan politik suatu bangsa tidak menentu bahkan kacau dan mengalami gejolak, sebagai konsekuensi logis hal ini akan membawa dampak buruk bagi perkembangan pendidikan bangsa itu. Ringkasnya keterpurukan sector pendidikan suatu bangsa memiliki hubungan yang erat dengan kondisi politik suatu bangsa, meskipun hal ini bukan merupakan suatu keniscayaan yang kebenarannya mutlak dan tidak dapat dibantah lagi.
Sejarah telah mencatat bahwa kemunduran pendidikan Islam di masa lampau bahkan hingga saat sekarang pada mulanya dipengaruhi kondisi politik pemerintahan umat Islam ketika itu. Kemajuan pendidikan Islam yang menjadi kebanggaan umat Islam hanyalah tinggal angan-angan dan kenangan yang tertinggal di buku-buku catatan sejarah. Dapat dillihat dan dibaca dalam catatan histories yang menggambarkan kemajuan pendidikan Islam. Hal ini terbukti dengan lahirnya berbagai disiplin ilmu dalam Islam, seperti; astronomi, geografi, aritmatika, ilmu kedokteran dan lain-lain.
Selain itu terlebih lagi lahirnya berbagai aliran mazhab dalam Islam dan ilmuwan-ilmuwan terkemuka seperti Abu Ya’kub bin Ishaq Al Kindi, Abu Nasr Muhammad Al Faraby, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Sian- Ibnu Sina- dan lain-lain dalam bidang-bidang disiplin ilmu tertentu yang menjadi rujukan dan referensi dunia internasionalmerupakan suatu bukti kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam ketika itu. Namun – sekali lagi – ini adalah mimpi dan cerita masa lalu yang hanya tinggal kenangan. Kenyataannya sekarang pendidikan Islam mengalami kemunduran dan bahkan dapat dikatakan kejumudan atau stagnasi. Hal ini diantaranya disebabkan oleh pengaruh dan gejolak dalam bidang politik yang dialami dunia Islam.
Stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor[3] yaitu faktor intern; merupakan faktor dari dalam diri umat Islamyang memberikan saham bagi merosotnya pola fikir umat Islam dan faaktor ekstern yang sekaligus merupakan tonggak sejarah bagi kehancuran budaya dan intelektual kaum muslimin. Kedua faktor ini akan dibicarakan selanjutnya secara lebih spesifik, terlepas dari faktpr mana yang menjadi penyebab utama stagnasi pemikiran umat Islam, namun yang jelas tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam saat ini ialah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan mereka. Umat Islam dituntut untuk memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan pemikiran pendidikan Islam. Tanpa kontribusi nyata yang disumbangkan oleh umat Islam sebagai penerus perjuangan para perintis dan penyebar agama ini, maka kejayaan masa lalu yang pernah dinikmati oleh umat ini yang telah berganti dengan menurunnya kreatifitas logika umat Islam hanya akan merupakan cerita panjang yang hanya bermuara pada penyesalan.
Sejarah kegemilangan dan kemunduran umat islam merupakan ibrah yang harus diambil hikmahnya. Bukankah Al Quran telah memberikan sinyalemen kepada para penganut ajarannya untuk mengambil pelajaran dari cerita yang telah diperankan oleh umat terdahulu di masa lalu? Hal ini sebagaimana dideskripsikan oleh Al Qur’an yang tertuang dalam surat Yusuf ayat 111:


Ayat tersebut memberikan gambaran kepada umat Islam bahwa pada cerita-cerita mereka orang-orang yang hidup terdahulu di masa lalu ada suatu ibrah, pelajaran yang harus diambil hikmahnya oleh oaring-orang yang mau menggunakan akal dan fikirannya untuk memahami cerita tersebut.
Pada bagian yang lain Nabi Muhammad SAW pernah memberikan peringatan bahwa salah satu tanda orang yang celaka ialah orang yang telah melupakan kesalahan (dosa) di masa lalu.[4] Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh surat Yusuf tersebut. Inilah yang barangkali mendorong penulis untuk memberikan deskripsi dan kontekstualisasi kemunduran pendidikan Islam. Karena tanpa kontekstualisasi – dalam tataran pemahaman penulis- sejarah hanya terbatas pada pendiskripsian kronologis suatu peristiwa yang tidak akan banyak berarti tanpa adanya pemahaman dan kontekstualisasi.
Menurut penulis, bagaimanapun pahitnya kenyataan dan realitas sejarah di masa lalu yang telah dialami oleh umat Islam, iaa tetap merupakan suatu pelajaran sejarah yang harus dapat diambil hikmahnya bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran. Berangkat dari pemaparan di atas, penulis ingin mencoba menfokuskan kajian ini pada periode kemunduran pendidikan Islam dan faktor-faktor yang menyebabkannya serta pemahaman kontekstual kemunduran pendidikan Islam di dunia pada umumnya dan Indonesia secara lebih spesifik yang telah memicu keterpurukan intelektual umat Islam.

II. Kemunduran Pendidikan Islam dan Sebab-sebabnya
Kemunduran pendidikan Islam dapat ditinjau dari dua aspek, aspek internal yang merupakan faktor yang terjadi dalam diri umat Islam sendiri dan faktor eksternal yaitu faktor-faktor dari luar umat Islam yang ikut memberikan saham bagi mundurnya pendidikan umat Islam.
Faktor internal atau faktor dari dalam diri umat Islam yang memegang peranan penting bagi kemunduran pendidikan Islam yang bermuara pada stagnasi pola pikir umat ini pada mulanya ialah disebabkan oleh ditinggalkannya pelajaran-pelajaran yang bersifat logika pada lembaga-lembaga pendidikan umat Islam dan diganti dengan pelajaran-pelajaran yang bersifat naqliyah. Hal ini terjadi karena kekhawatiran umat islam ketika itu terhadap terulangnya kembali peristiwa mihnah yang telah membawa banyak korban dan menyisakan kepedihan.
Dalam catatan sejarah sebelumnya, ketika faham Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab dan faham Negara oleh Pemerintahan Bani Abbas, pendidikan Islam mencapai puncak kemajuannya. Namun, kemudian terjadilah sebuah peristiwa berdarah yang terkenal dengan peristiwa mihnah yang dimotori oleh kaum Mu’tazilah. Inti dari peristiwa mihnah ini ialah diundangnyaa orang-orang dan ditanyakan kepada mereka apakah kitab suci Al Qur’an itu makhluq atau bukan. Apabila mereka mengingkari bahwa Al Qur’an itu bukan makhluq maka mereka akan disiksa dan bahkan ada diantara mereka yang dibunuh karena berpegang bahwa al Qur’an itu bukan makhluq. Pemaksaan ide semacam ini telah menimbulkan banyak korban di kalangan tokoh-tokoh sunni yang berpendirian bahwa Al Qur’an itu bukan makhluq tetapi ia qadim. Perlakuan oarang-orang Mu’tazilah ini mendapat pengakuan dan dudkungan dari penguasa ketika itu yakni pemerintahan Daulah Bani Abbas yang membuat para pengikut Sunni menjadi sangat resah dan merasa tertekan.
Kondisi yang sangat memprihatinkan yang terjadi padaaa peristiwa mihnah berlanjut hingga pada suatu ketika salah seorang penguasa dari daulah Bani Abbas, Al Mutawakkil menyatakan bahwa Mazhab Mu’tazilah tidak lagi dianggap dan menjadi mazhab negara dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah. Kebijakan Khalifah Al Mutawakkil[5] menyebabkan kondisi berbalik. Aliran Mu’tazilah yang dahulu dilindungi oleh negara menjadi sangat tertekan dan termarginalkan. Ketika golongan Sunni memegang otoritas politik, tokoh-tokoh dari kalangan Mu’tazilah diusir. Dan golongan sunni akhirnya menjadi kelompok manusia yang antipati terhadap ilmu-ilmu rasional yang sebelumnya dikembangkan oleh orang-orang Mu’tazilah.[6]
Secara perlahan-lahan, umat Islam mulai menjauhi ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat aqliyah. Seakan-akan umat Islam merasa takut bahwa peristiwa mihnah akan terulang kembali jika mereka mempelajari ilmu-ilmu aqliyah. Umat Islam yang mempelajari ilmu-ilmu aqliyah semakin sedikit dan itupun dilakukan secara perorangan. Bahkan sebagian orang Mu’tazilah mempelajarinya secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan oleh kelompok Ikhwanussafa.
Cukup menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh Syed Amir Ali dalam bukunya the spirit of Islam yang telah diterjemahkan dalam Api Islam bahwa agama Muhammad SAW, seperti juga agama Isa AS, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam. Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa.[7]
Sebagai konsekuensi logis ditinggalkannya ilmu-ilmu yang bersifat aqliyah dan digantikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat naqliyah saja, perkembangan ilmu-ilmu yang bersifat rasional menjadi surut. Sebaliknya, ilmu-ilmu naqliyah dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang bersumber dari Islam sehingga umat Islam secara umum lebih cenderung mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari pada ilmu-ilmu rasional. Oleh karena itu kegiatan pendidikan Islamhanya menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkembang hanyalah pemikiran ilmu keagaqmaan khususnya ilmu fiqh. Ketika ilmu fiqh berkembang menjadi kaku dan akal kehilangan peranannya dalam fiqh, taklidpun berkembang, sedangkan pintu ijtihad seakan-akan telah tertutup. Pada akhirnya terjadilah apa yang disebut stagnasi [8] pemikiran umat Islam.
Faktor ekstern yang menjadi pemicu kemunduran pendidikan umat Islam adalah serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke 13 yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Abbasiyah, ketika kota Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dibumihanguskan. Sekitar 800.000 penduduk kota Bagdad dibunuh dalam peristiwa penyerangan tersebut. Perpustakaan dihancurkan dan ribuan rumah penduduk dibakar. Dalam peristiwa tersebut umat Islam kehilanganlembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi pendidikan Islam. Musnahnya ribuan buku, baik buku-buku keagamaan maupun buku-buku tentang ilmu-ilmu sains dan filsaft mempengaruhi perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Berbagai literature ilmu pengetahuan sains dan filsafat telah lenyap dan hangus terbakar.
Kedua faktor di atas telah menyebabkan kehidupan intelektual masyarakat Muslim terus mencekam. Apalagi berkembangnya sikap hidup fatalis[9] dalam masyarakat. Keadaan ini menyebabkan umat Islam hanya bergantung dan mengembalikan segala keuntungan dan penderitaan mereka pada keadilan Tuhan. Mereka yang memilih sikap hidup fatalis tidak lagi memiliki kepercayaan kepada kemampuannya untuk maju ataupun mengatasi masalah yang menimpa mereka dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka masuk ke dalam ajaran-ajaran tarekat, berdo’a sebanyak-banyaknya dan memohon keadilan Tuhan untuk mengembalikan kejayaan yang pernah mereka capai sebelumnya.[10]
Sementara itu Hilmy Bakar Almascaty dalam catatannya yang terangkum dalam Membangun Kembali Sistem Pendidkan Kaum Muslimin mengemukakan bahwa kehancuran Bagdad yang memusnahkan hampir seluruh warisan intelektual kaum Muslimin terdahulu telah melahirkan sikap defensif cendekiawan Muslim yang sangat ekstrim. Keadaan ini sangat mempengaruhi metode intelektual kaum Muslimin. Kemudian pada puncaknya mereka menutup pintu ijtihad yang merupakan puncak kegemilangan Islam dalam mendorong pengikutnya untuk melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif yang digunakan untuk merespon keadaan zamannya. Peristiwa ini adalah merupakan salah satu tragedy terbesar dalam sejarah perkembangan intelektual umat Islam. Akibatnya para cendekiawan sesudahnya hanya membahas dan mensyarah kitab-kitab pendahulu mereka dengan memberikan komentar-komentar detil yang kadangkala mengaburkan inti permasalahan yang dibahas, dan akhirnya justru mendangkalkan pemikiran mereka yang hanya bertaqlid mengikuti pendahulu mereka.[11]
Pada bagian yang lain, Muhammad Abdul Halim Mursi tidak jauh berbeda dalam memberikan keterangan sebab-sebab kemunduran pendidikan Islam. Dalam catatannya yang terangkum dalam Westernisasi dalam Pendidikan Islam, ia mengemukakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab kondisi umat Islam semakain hari semakin merosot dan terbelakang ialah ketika khalafah Islam di bagdad mendapatkan serangan dari bangsa Tartar yang datang dari Asia Tengah yang menyerang Bagdad secara membabi buta, menghancurkan dan membakar segala fasilitas milik kaum Muslimin yang ada di Bagdad[12]. Inilah dua faktor utama yang menjadi sebab kemunduran pendidikan Umat Islam.
Dalam tataran kontekstual kemunduran pendidikan Islam pada saat ini bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar umat Islam yang memang berusaha merongrong pendidkan Islam melalui budaya yang mewreka hembuskan. Akan tetapi dari dalam umat Islam sendiri timbulnya keengganan di kalangan umat Islam untuk keluar dari kejumudan berfikir. Di samping – sebagaimana dimaklumi- kondisi social politik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan pendidikan Islam. Apabila umat Islam tidak ingin terlena dan tertidur pulas serta terus menerus dalam kejumudan dan keterpurukan, maka umat ini harus bangkit dan menyusun kembali strategi dalam menyahuti tantangan kontemporer.

III. Penutup
Kemunduran pendidkan Islam pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern, dimana umat Islam telah meninggalkan ilmu-ilmu provan yang bersifat rasional dan hanya mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat naqliyah. Faktor kedua ialah faktor ekstern, dimana umat Islam mengalami kehancuran pada masa Daulah Bani Abbas dengan datangnya serangan dari bangsa Tartar dan Mongol yang telah membumihanguskan khazanah dan peradaban umat Islam di Bagdad. Inilah faktor utama yang menyebabkan kejumudan dan kemunduran pendidikan umat Islam yang masih mereka rasakan akibatnya hingga sekarang.
Daftar Pustaka

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Mileniaum Baru, Cet. II, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. VI, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997).

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos, 1999).

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. V, (Jakarta, UI Press, 1986).

Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian Atas Lembaga-lembaga Pendidikan, Cet.I, (Bandung, Mizan, 1994).

Hilmy Bakar Almascaty, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, (Universitas Islam Azzahra, tt.).

Ibnu Hajar al Asqalani, Nashaih li Al’Ibad, tt.

Ismail SM dkk (Ed), Paradigma Pendidikan Islam, Cet.I, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001).

Muhammad Abdul Alim Mursi, Westernisasi dalam Pendidikan Islam, Cet. I, terj. Abdul Majid Khan, (Jakarta, Fikahati Aneska, 1992).

Syed Amir Ali, Api Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978).
[1] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan, Cet. I, (Bandung, Mizan, 1994), hal. 11.
[2] Hanun Asrohah dalam catatannya mengemukakan pendidikan sebagai suatu system tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik. Antarta politik dan pendidikan Islam terjalin hubungan erat. Berubahnya kebijakan di bidang politik dapat mempengaruhi pelaksanaan dan kebijakan bidang pendidikan Islam. Pada masa dinasti Bani Abbas/ klasik, paham-paham keagamaan turut mewarnai situasi politik di dunia Islam. Turun naiknya berbagai aliran keagamaan dalam pentas politik membuat berubah-ubahnya kebijaksanaan penguasa. Akibatnya, pelaksanaan dan kebijakan pendidikan Islam turut pula terpengaruh sesuai dengan selera penguasa politik. Pendidikan Islam yang sedang dalam masa pertumbuhan kemudian berkembang menjadi pendidikan yang relatif maju, karena berubahnya suasana dan kebijakan politik Islam, secara perlahan-lahan kondisi pendidikan Islam mengalami kemunduran. Lihat, Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, logos, 1999), haaal. 92-93.
[3] Ibid, hal. 120-121.
[4]Dalam kitabnya Nashaih li al Ibad, Alhafidz Ibnu Hajar al Asqalani pernah menggambarkan sebuah teks hadith yang intinya menceritakan bahwa ada empat hal yang menjadi tanda-tanda kehancuran bagi seseorang yaitu melupakan kesalahan dosa (kesalahan ) di masa lalu sementara kesalahan-kesalahan (dosa) yang telah ia lakukan di masa lalu itu tercatat di sisi Allah, mengingggat-ingat dan menyebut kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan di masa lalu sementara ia tidak pernah tahu apakah kebaikan tersebut diterima ataupun ditolak, memandang ke atas dalam urusan dunia dan memandang kebawah (melihat orang yang kapabilitasnya lebih rendah dari dirinya) dalam urusan agama. Inilah tanda-tanda kehancuran (syaqawah) bagi seseorang yang dilukiskan oleh Ibnu Hajar. Lihat, Alhafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Nashaih li Al Ibad, tt. Hal 11.
[5] Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam juga memberikan keterangan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Al Mutawakkil, aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya kaum salaf terhadap faham-faham mu’tazilah seperti halnya kaum Mu’tazilah yang tidak toleran terhadap keyakinan Sunni telah memberikan konsekuensi logis menyempitnya horizon intelektual kaum muslimin. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. IV, (Jakarta, raja Grafindo Persada, 1997), hal.84.
[6] Mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat rasional memang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum kehancuran aliran teologi kaum Mu’tazilah. Akan tetapi dengan adanya “pemakruhan” – untuk tidak mengatakan pengharaman – mempelajari ilmu provan yang menggunakan penalaran setelah runtuhnya faham Mu’tazilah merupakan sesuatu yang mengundang kecurigaan, sehingga orang-orang yang masih mempunyai minat untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat rasional terpaksa harus belajar sendiri-sendiri dan dan bahkan harus tersembunyi’ “di bawah tanah”, karena mereka dipandang telah mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat “subversif” yang akan menggugat kemapanan doktrin Sunni terutama dalam bidang teologi. Lihat, Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Cet. II, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 200), hal. 9.
[7] Syed Amir Ali, Api Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), hal. 464.
[8] Stagnasi yang melanda kesarjanaan Muslim banyak terjadi sejak abad ke 16 hingga abad ke 18 M. kondisi tersebut secara umum merupakan imbas dari kelesuan di bidang politik dan budaya. Masyarakat Muslim pada saat itu senderung hanya mendongak keatas melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan, sehingga mereka lupa dengan kenyataan yang telah terjadi di lapangan. Maka para sarjana Barat mengatakan bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lamapu telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan-tantangan yang dilemparkan oleh Barat. Padahal apabila tantangan tersebut ditanggapi secara dewasa dan positif akan menjadi suatu cemeti bagi kemajuan umat Islam dalam bidang pemikiran dan pada akhirnya stagnasi berfikir di kalangan umat Islam akan segera tercairkan. Lihat, Ismail SM dkk (ed), Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), Hal. 83-84.
[9] Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, mengemukakan bahwa malapetaka terbesar yang telah menimpa umat Islam ialah lenyapnya kaum Mu’tazilah. Sekiranya ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dijalankan sampai hari ini , kedudukan umat Islam dalam sejarah akan sangat berbeda dengan kedudukan dan kondisi mereka saat ini. Sikap lekas menyerah pada nasip telah membuat mereka lemah. Faham fatalis telah melumpuhkan umat Islam, sedangkan sikap tawakkal telah menjadikan mereka senantiasa dalam keadaan statis. Harun nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. V, (Jakarta, UI Press, 1986), hal. 58.
[10] Hanun Asrohah, Sejarah…, hal. 92- 114.
[11] Hilmy Bakar Almascaty, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, (Universitas Islam Azzahra), hal. 21-22.
[12] Muhammad Abdul Alim Mursi, Westernisasi dalam Pendidikan Islam, Cet. I, Terj. Abdul Majid Khan, (Jakarta, Pikahati Aneska, 1992), hal. 22.

Fase Perkembangan Hubung Kaitnya dengan Pedidikan

FASE-FASE PERKEMBANGAN
DAN HUBUNGANNYA DENGAN BELAJAR

I. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk sosial yang sangat dinamis, tidak tetap dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Ia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana telah disenyalir oleh Al Qur'an melalui firman Nya bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna.[1] Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam diri manusia dipengaruhi oleh adanya unsur kehidupan yang ada dalam dirinya. Perubahan dan perkembangan ini adakalanya merupakan perubahan fisik dan adakalanya perubahan psikis.

Diskusi tentang penyebab perkembangan yang terjadi dalam diri manusia telah menimbulkan kontroversi pemikiran di kalangan para ahli psikologi sehingga melahirkan beberapa teori tentang perkembangan manusia itu sendir. Schopenhauer misalnya, ia mengemukakan dan berpendapat bahwa perkembangan manusia dipengaruhi sepenuhnya oleh factor natives, yaitu factor keturunan yang diwariskan oleh orang tua yang dibawa oleh individu sejak ia dilahirkan. Teori ini dikenal dengan teori nativisme. Menurut teori ini, sejak dilahirkan individu telah membawa sifat-sifat tertentu. Sifat–sifat inilah yang kemudia akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan.[2] Teori memberikan pandangan dan beranggapan bahwa manusia seakan-akan telah ditentukan oleh sifat-sifat sebelumnya, yang tidak dapat diubah, sehingga individu akan sangat tergantung pada sifat-sifat yang telah diturunkan oleh orang tuanya. Bila orang tuanya memiliki kepribadian yang baik, ia akan mewarisi kepribadian yang baik pula seperti yang diturunkan oleh orang tuanya. Sebaliknya jika orang tuanya memiliki kepribadian yang kurang terpuji – untuk tidak mengatakan tercela- maka anak akan mewarisi sifa-sifat yang kurang terpuji yang diturunkan oleh orang tuanya.
Teori nativisme ini suatu konsekuensipandangan bahwa manusia yang dilahirkan oleh orang tua yang memiliki sifat-sifat baik akan tetap baik, meskipun ia dididik oleh lingkungan yang buruk. Sebaliknya, manusia yang dilahirkan oleh orang tua yang memiliki sifat jahat dan tercela akan menjadi jahat pula tanpa dapat diubah oleh kondisi lingkungan dan pendidikan anak, bagaimanapun baiknya lingkungan dan pendidikan yang diberikan kepada anak. Teori ini menimbulkan sikap pesimistis yang m,emandang bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang sia-sia dan tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan manusia.
Bertolak belakang dengan teori nativisme, John Locke mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan teori empirisme. Teori juga dikenal dengan teori tabularasa atau meja lilin. Ia berpendapat bahwa perkembangan manusia sepenuhnya dipengaruhi oleh factor empiri atau pengalaman-pengalaman yang diperoleh oleh individu selama dalam masa perkembangan. Menurut teori ini individu yang dilahirkan ibarat kertas putih ataupun meja putih yang masih kosong yang akan menerima dan bebas untuk ditulis apa saja sesuai dengan kehendak orang yang mau menuliskannya.[3] Akan menjadi apakah individu itu kemudian akan sangat tergantung kepada apa yang akan dituliskan diatasnya. Karena itu, peranan pendidikan dalam hal ini sangat besar. Pendidiklah yang akan sangat menentukan keadaan individu tersebut di kemudian hari. Karenanya dalam lapangan pendidikan, aliran ini melahirkan pandangan yang optimis yang memandang bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang mampu untuk membentuk kepribadian individu.[4]
Berbeda dari teori nativisme dan empirisme, William Stern memiliki kecenderungan untuk menggabungkanteori nativisme dan empirisme. Teori Stern dikenal dengan teori konfergensi, suatu teori yang menganggap perkembangan anak merupakan konvergensi kedua teori tersebut, mengkonvergen teori nativisme dan empirisme. Menurut Stern, baik factor nativ atau pembawaan maupun factor empiri atau pengalaman dan lingkungan, keduanya memiliki perangan yang sangat penting dalam menentukan perkembangan individu.[5] Perkembangan individu akan sangat sangat ditentukan baik oleh factor yang dibawa sejak lahir atau endogen maupun factor lingkungan termasuk pengalaman dan pendidikan atau factor eksogen. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut tentang perkembangan manusia, makalah ini ingin mencoba menfokuskan diri pada tahap-tahap perkembangan manusia dan hubungannya dengan belajar.

II. Perkembangan dan Belajar
a. Teori Perkembangan.
Istilah perkembangan pada dasarnya berbeda dengan pertumbuhan, meskipun ada sebagian penulis mengemukakannya secara bersamaan dan cenderung untuk tidak membedakannya.[6] Dari penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, tidak banyak perbedaan bahkan tidak jauh berbeda definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang pertumbuhan dan perkembangan. Elizabeth B. Hurlock, misalnya, memberikan definisi bahwa istilah perkembangan memberikan pengertian sebagai serangkaian perubahan progressif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti bahwa perkembangan bukan hanya sekedar penambahan tinggi maupun berat badanseseorang ataupun kemampuannya, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.[7]
Kartini Kartono dalam Psikologi Anak mengemukakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan secara kontinu. Kedua proses ini berlangsung secara interdependen. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam bentuk yang murni berdiri sendiri, akan tetapi dapat dibedakan untuk memudahkan memahaminya. Pertumbuhan dan didefinisikan sebagai perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat dalam peredaran waktu tertentu. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai suatu proses transmisi dari konstitusi fisik yang herediterdalam bentuk proses aktif yang kontinu, sementara perkembangan dalam artian yang sempitdapat disebutkan sebagai suatu proses pematangan fungsi-fungsi yang bersifat nonfisik. Disamping itu perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan-perubahan psikho-fisis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikhis dan fisispada diri anak yang ditunjang oleh factor lingkungandan proses belajar dalam rentang waktu tertentu menuju kedewasaan.[8] Dengan demikian perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan psikofisis menuju pematangan yang distimulir oleh factor lingkungan.
Sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Kartini Kartono, Sunarto dan Agung Hartono mengemukakan bahwa pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut perubahan peningkatan ukuran dan struktur biologis. Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematazngan fungsi-fungsi fisikyang berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat dalam perjalanan waktu tertentu. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses transmisi dan konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah) yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Sementara itu perkembangan merupakan suatu proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fingsi kematangan dan interaksi dengan lingkungan. Istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gejala psikologis yang nampak.[9]
Dalam Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Siti Rahayu Hadinoto dkk. mengemukakan bahwa pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Ia menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap. Perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pemaswakan dan belajar. Terjadilah suatu organisasi atau struktur yang lebih tinggi.[10]
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, yang sebenarnya masih banyak pendapat para ahli yang lain yang tidak mungkin dituangkan seluruhnya dalam tulisan singkat ini, meskipun definisi tersebut tidak jauh berbeda bahkan pada prinsipnya menurut penulis cenderung sama, penulis mencoba memberikan konklusi berupa gambaran yang jelas tentang pengertian pertumbuhan dan perkembangan.
Pada hakekatnya pertumbuhan merupakan pertambahan dalam bentuk ukuran-ukuran badan dan fungsi-fungsi biologis ataupun fisiologis. Hal ini dapat diamati melalui bertambahnya tinggi dan berat badan, bertambah besarnya ukuran pergelangan tangan, kaki, maupun ukuran pinggang. Sementara perkembangan adalah proses perubahan dalam suatu pertumbuhan sebagai akibat dari kematanganyang bersifat psikologis sehingga mencerminkan gejala-gejala yang khas dan dapat diamati melalui perubahan sikap.
Suatu perkembangan pasti terjadi melalui proses tertentu. Mengutip penjelasan Agus Sujanto, yang menjelaskan tentang teori perkembangan dalam bukunya Psikologi Perkembangan.[11] Ia mengemukakan bahwa ada beberapa teori tentang proses perkembangan, diantaranya adalah teori Herbart yang berpendapat bahwa terjadinya perkembangan adalah oleh karena adanya unsur-unsur yang berasosiasi sehingga sesuatu yang semula bersifat simple semakin lama menjadi semakin rumit dan kompleks. Anggapan ini menurut Herbart adalah karena anak yang baru lahir keadaan jiwanya masih bersih. Selanjutnya ia menerima stimulus dari luar dirinya sebagai akibat dari penginderaan. Hal ini memberikan konsekuensi pemberian tanggapan. Pemberian tanggapan ini berasosiasi di dalam jiwa yang semakin lama semakin kompleks. Itulah hakekat perkembangan menurut persepsi Herbart.
Berbeda dengan teori Herbart, teori yang muncul selanjutnya adalah teori Gestalt yang berpendapat bahwa teori perkembangan bukanlah berlangsung dari sesuatu yang simple kepada sesuatu yang rumit dan kompleks, melainkan berlangsung dari sesuatun dari yang bersifat global (menyeluruh tetapi samar-samar) yang kemudian semakin lama semakin jelas, tampak bagian-bagian dari keseluruhan itu. Demikianlah teori perkembangandalam perspektif Gestalt.[12]
Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli tersebut , penulis ingin memberikan suatu gambaran asumsi penulis tentang perkembangan. Menurut penulis, perkembangan pada hakekatnya adalah perubahan. Kalaupun menurut teori Herbart bahwa proses berkembangan itu berlangsung dari suatu yang simple lalu kemudian iaa berasosiasi menjadi suatu hal yang rumit dan kompleks, ataupun menurut teori Gestalt bahwa proses perkembangan berlangsung dari sesuatu yang global dan samar-samar lalum kemudian menjadi semakin jelas, inti dari kedua proses tersebut pada hakekatnya adalah perubahan, dan perubahan itu sendiri adalah perkembangan, terlepas proses manakah yang paling dominanyang memberikan pengaruh pada perkembangan.

b. Teori Belajar
Belajar merupakan sebuah kata yang sangat akrab di pendengaran dan tidak asing lagi.kata ini sering di dengar dan diucapkan. Jika anda sedang membaca atau menulis, lalu ada seseorang yang bertanya tentang apa yang yang sedang anda lakukan, maka dengan serta merta anda tentu akan menjawab bahwa anda sedang belajar. Meskipun demikian penulis merasa memandang perlu untuk memberikan gambaran tentang pengertian belajar sekedar untuk menyamakan persepsi tentang istilah belajar, walaupun para ahli pendidikan sendiri berbeda pendapat tentang konsep belajar.
Mengutip istilah yang dikemukakan oleh Slameto dalam bukunya, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi maupun berhubungan dengan lingkungannya.[13]
Syaiful Bahri Djamarah dalam Psikologi Belajar memberikan deskripsi belajar bahwa ia merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsure, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. tentu saja perubahan yang didapatkan dari proses belajar itu bukanlah perubahan fisik, akan tetapi perubahan psikis yang disebabkan oleh masuknya kesan-kesan yang baru. Dengan demikian, perubahan fisik akibat sengatan serangga, patah tangan, patah kaki, buta mata, tuli telinga dan lain sebagainya bukanlah termasuk proses belajar. Oleh karenanya, perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.[14]
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa belajar adalah suatu rangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh karena itu seseorang yang telah melakukan aktifitas belajar pada akhirnya akan mengalami perubahan dalam dirinya dengan pemilikan pengalaman yang baru.
Meskipun demikian perlu juga digarisbawahi bahwa perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses dari belajar adalah perubahan yang bersentuhan dengan aspek kejiwaan dan mempengaruhi tingkah laku. Sementara perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh karena mabuk meminum minuman keras, akibat gila, tabrakan dan sebagainya bukanlah merupakan kategori belajar. Dengan demikian, pada hakekatnya dapatlah disimpulkan bahwa hakekat belajar adalah perubahan, akan tetapi tidak semua perubahan itu merupakan hasil dari proses belajar.
Belajar memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikannya berbeda dari yang lain. Jika hakekat belajar adalah perubahan tingkah laku, maka beberapa perubahan tertentu digolongkan kedalam cirri-ciri belajar, diantaranya yaitu; perubahan yang terjadi secara sadar, artinya individu yang telah belajar akan menyadari dan merasakan adanya suatu perubahandalam dirinya, misalnya individu menyadari bertambahnya pengetahuan dalam dirinya, kemahiran dan keterampilannya bertambah dan sebagainya.
Perubaahan sebagai ciri belajar yang selanjutnya ialah bahwa perubahan dalam belajar bersifat fungsional, artinya sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu sebagai hasil dari proses belajar berlangsung secara terus menerus dan tidak statis. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Selanjutnya perubahan yang terjadi sebagai akibat dari belajar bahwa pewrubahan tersebut bersifat positif dan aktif, artinya perubahan-perubahan itu selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Kemudian perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses belajar bukanlah bersifat sementara, insidental, bertujuan dan terarah serta perubahan tersebut mencakup seluruh aspek tingkah laku.[15]
Itulah karakteristik perubahan yang diakibatkan oleh adanya proses belajar yang menyebabkannya berbeda dari perubahan yang diakibatkan oleh proses lain selain belajar, baik itu perubahan sebagai akibat dari kecelakaan maupun perubahan yang diakibatkan oleh karena penyakit yang diderita oleh seseorang atau juga perubahan yang terjadi pada seseorang pasca sebuah kecelakaan yang dialaminya. Karenanya, setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan, namun bukan semua perubahan merupakan hasil dari proses belajar.

III. Fase-fase Perkembangan dan Hubungannya dengan Belajar.
Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang fase-fase perkembangan .Pembagian fase-fase perkembangan ke dalam masa perkembangan hanyalah untuk memudahkan kita mempelajari dan memahami jiwa anak.Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi kedalam masa perkembangan, namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat dipahami dalam hubungan secara keseluruhan. Setiap peristiwa pertumbuhan ataupun perkembangan selalu didukung dan dipengaruhi oleh faktor-faktor luar yang dalam hal ini berlaku teori konvergersi. Para ahli membagi masa perkembangan itu kedalam fase sesuai dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda.
Aristoteles misalnya, membagi masa perkembangan, dalam tiga fase yaitu; periode anak kecil usia sampai tujuh tahun, periode anak sekolah usia tujuh sampai empat belas tahun, dan periode pubertas atau remaja empat belas sampai dua puluh satu tahun.Sementara itu Comenius membagi masa perkembangan menjadi empat fase, fase pertama disebut dengan masa sekolah ibu sampai usia enam tahun, fase kedua disebut dengan masa sekolah bahasa ibu usia enam sampai dua belas tahun, fase ketiga disebut dengan masa sekolah bahasa latin yaitu umur dua belas sampai dengan delapan belas tahun dan fase terakhir disebut dengan masa sekolah tinggi yaitu usia delapan belas sampai dua puluh empat tahun.
Charlotte Buhler, seorang ahli psikologi membagi masa perkembangan kedalam lima fase, yaitu:

1. masa pertama, usia sampai 1 tahun. Pada masa ini anak berlatih mengenal dunia lingkungan dengan berbagai macam gerakan. Pada waktu lahirnya ia mengalami dunia tersendiri yang tidak ada hubungannya dengan lingkungannya. Perangsang-perangsang hanya sebagian kecil yang dapat disambutnya, sebagian besar lainnya masih ditolaknya. Pada masi ini ada dua hal yang sangat penting dari proses belajar yaitu belajar berjalan dan berbicara.
2. masa kedua, usia 2 sampai 4 tahun. Keadaan dunia luar pada masa ini makin dikuasai dan dikenalnya melalui bermain, kemajuan bahasa dan pertumbuhan kemampuannya. Dunia luar dilihat dan dinilainya menurut keadaan dan sifat batinnya. Semua binatang dan benda mati disamakan dengan dirinya.
3. masa ketiga, usia 5 sampai 8 tahun. Keinginan bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaaan semakin tinggi demikian pula rasa sosialnya juga semakin tinggi. Pandangan terhadap dunia sekelilingnya ditinjau dan diterima secara objektif.
4. masa keempat, usia 9 sampai 13 tahun. Keinginan maju dan memahami kenyataan mencapai puncaknya.pertumbuhan jasmani sangat subur pada usia 10 sampai 12 tahun. Kejiwaannya tampak tenang, seakan-akan ia bersiap-siap untuk menghadapi perubahan yang akan datang. Ketika anak perempuan berusia 12 sampai 13 tahun, anak laki-laki berusia 13 sampai 14 tahun, mereka mengalami masa krisis dalam proses perkembangannya. Pada masa ini mulai9 timbul kritik terhadap diri sendiri, kesadaran akan kemauan, penuh pertimbangan, mengutamakan tenaga sendiri, disertai dengan berbagai pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya.
5. masa kelima, usia 14 sampai 19 tahun. Pada masa awal pubertas, anak kelihatan lebih subjektif. Kemampuan dan kesadaran dirinya terus meningkat. Hal ini mempengaruhi sifat-sifat dan tingkah lakunya. Anak di masa pubernya selalu merasa gelisah akrena mereka sedang mengalami perasaan ingin memberontak, gemar mengkritik, suka menentang dan sebagainya. Pada masa sekitar usia 17 tahun anak akan mulai mencapai keseimbangan antara dirinya dengan pengaruh dunia lingkungannya. Mereka membentuk pribadi, menerima norma-norma budaya sebagai pertanda bahwa anak akan memasuki masa kematangan.[16]
Pada bagian yang lain , Jean Piaget membagi fase perkembangan yang dilalui anak kedalam empat fase atu tahap berikut, yaitu;
1. tahap sensori motor (usia 0-2 tahun). Pada tahap ini individu memperoleh pengetahuan dan perkembangan intelektual melalui reflek-reflek untuk mengetahui dunianya. Dengan cara itu individu bisa memperoleh dan mencapai kemampuannya dalam mempersepsi ketetapan objek.misalnya orang tua memperlihatkan suatu tanda kepada anaknya dengan bercanda agar anak tidak lagi menangis.
2. tahap pra operasional atau intuitif (usia 2 - 7 tahun). Dalam fase ini individu mendapatkan pengetahuan dan perkembangan intelektual melalui penggunaan simbol-simbol dan penyusunan tanggapan internal yaitu dengan mencoba memicu gerakan-gerakan anak lewat emosi atau perasaan, seperti dengan memberi mainan, bercakap-cakap dengan bahasa anak dan mencontohkan perilaku yang baik pada anak (peniruan).
3. tahan konkrit operasional (usia 7-11 tahun). Tahap ini individu memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pikiran secara sistematik terhadap hal-hal atau objek yang konkrit. Misalnya anak melihat api lalu ia memikirkan dan mulai menggunakan akal untuk membedakan bahwa api itu panas atau dingin dan sebagainya.
4. tahap formal operasional (usia 11 tahun ke atas). Pada fase ini individu mendapatkan pengetahuan dengan cara berfikir dan menganalisa yang bersifat abstrak dan hipotesis. Sebagai contoh anak yang melihat telur ayam yang menetas lalu mati akan berfikir kenapa anak ayam itu mati dan sebagainya.[17]

Demikianlah sebagian teori perkembangan yang dapat penulis kemukakan dalam makalah singkat ini, meskipun masih banyak pendapat para ahli yang membicarakan tentang teori perkembangan, seperti Ahmad Tafsir yang berbicara tentang perkembangan anak dalam belajar yang terangkum dalam Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam,[18] namun dengan segala keterbatasan, makalah ini tidak akan dapat mengcover ide-ide tersebut.
Apabila kita melihat teori-teori perkembangan di atas kiat dapat memberikan suatu asumsi – khususnya dalam perspektif penulis- bahwa dalam perspektif ilmu pendidikan Islam, benarlah Nabi yang menyuruh agar orang tua menyuruh anaknya untuk menunaikan shalat pada usia 7 tahun. Artinya Nabi menyuruh para orang tua untuk mengajarkan kepada anaknya yang masih dalam masa perkembangan agar dapat membentuk kepribadian mereka, sebelum anak dipengaruhi oleh factor-faktor luar yang akan “ membahayakan” moral dan menjerumuskan kehidupan anak.
Daftar Pustaka

Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998).
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Cet. VII, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996).

Safwan Amin, Pengantar Psikologi Pendidikan, Cet. I, (Banda Aceh, Yayasan Pena, 2003).

Ahmad Tafsir, Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995).

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Edisi V, (Jakarta, Erlangga, 1980).

Kartini Kartono, Psikologi Anak, (Bandung, Alumni, 1979).

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. IV, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996).

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1991).

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002).

Siti Rahayu Haditono dkk, Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet. XII, (Yogyakarta, Gadjah Mada University, 1999).

Sunarto dan Agung Hartono, Perkembaangan Peserta Didik, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999).

Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Cet. IX, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002).
[1] Kesempurnaan bentuk dalam penciptaan manusia ini telah termaktub dalam surat al Tin ayat 4, yang artinya sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, lalu kami kembalikan mereka pada posisi yang paling hina , kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Di sisi yang lain allah SWT memberikan gambaran tentang kesempurnaan manusia karena mereka dikaruniai hati, mata dan juga telinga. Akan tetapi Allah juga memberikan peringatan kepada manusia bahwa mereka akan dihinakan lebih hina dan rendah derajatnya dari binatang ternak jika saja manusia tidak menggunakan potensi yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Mereka dikaruniai hati, akan tertapi mereka tidak menggunakan hatinya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah, diberikan telinga, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah dan seruan untuk menuju ke jalan Nya dan mereka dikaruniai mata, akan tetapi justru mata tersebut mereka gunakan untuk melakukan kemaksiatan dan bukan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Ketika manusia dalam kondisi demikian, maka mereka tidak lagi berada dalam posisi sebagai makhluk yang paling mulia karena sempurnanya penciptaan mereka, akan tetapi justru mereka berada dalam posisi yang rendah, lebih rendah dari binatang ternak yang tidak dikarunia akal dan fikiran. Lihat, al Qur’an surat al A’raf: 178. Pada bagian yang lain Allah SWT memberikan gambaran melalui FirmanNya yang mengungkapkan bahwa sungguh Kami telah memuliakan Bani Adam dan Kami tempatkan mereka di darat dan di laut, lalu Kami berikan rizki kepada mereka dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari makhluk ciptaan Kami yang lain.
[2]Lihat, Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998), hal. 195-196.
[3]Dalam perspektif Ilmu Pendidikan Islam ada kedekatan antara pengertian konsep ini dengan teori fitrah. Dalam perspektif pendidikan Islam, setiap manusia yang dilahirkan dalam fitrah. Hal ini sebagaimana tersurat dalam sebuah hadith Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya saja orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Majusi ataupun Nashrani. Namun yang membedakan konsep fitrah dengan teori tabularasa ialah bahwa teori tabularasa menganggap bahwa anak yang dilahirkan ibarat kertas putih yang tidak berisi apapun, sementara konsep fitrah memandang bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi dasar tauhid. Lihat, M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. IV, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), hal. 88-103.
[4] Abu Ahmadi, Psikologi..., hal. 196-197.
[5] Ibid, hal. 197-198.
[6] Sunarto dan Agung Hartono dalam, Perkembangan Peserta Didik mengemukakan bahwa dalam banyak buku, makna pertumbuhan sering diartikan sama dengan perkembangan, sehingga penggunaan kedua istilah tersebut sering kali dipertukarkan untuk makna yang sama. Ada penulis yang suka menggunakan istilah pertumbuhan saja dan ada yang menggunakan istilah perkembangan saja. Lihat, Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999), Hal. 17-18.
[7] Elizabith B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Edisi V, (Jakarta, Erlangga, 1980), hal.2.
[8] Kartini Kartono, Psikhologi Anak, (Bandung, Alumni, 1979), hal. 29-33.
[9] Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan..., Hal. 34-39.
[10] Siti Rahayun Haditono dkk, Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet. XII, ( Yogyakarta, Gadjah Mada University, 1999), hal. 1-3.
[11] Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Cet. VII, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), Hal. 234-238.
[12] Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, masih ada teori lain yang juga membahas tentang teori perkembangan, seperti teori sosialisasi yang dikemukakan oleh James Mark Baldwin maupun teori Freudism yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, lihat, Ibid, hal. 236-238.
[13] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1991), hal.
[14] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belaja, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002), hal. 12-13.
[15] Ibid, hal. 14-16.
[16] Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Cet. IX, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 18-20.
[17] Safwan Amin, Pengantar Psikologi Pendidikan, Cet. I, (Banda Aceh, Yayasan Pena, 2003), hal. 21-22.
[18] Ahmad Tafsir, Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995), hal. 126-128.

Manajemen Kesiswaan

MANAJEMEN KESISWAAN

Kata Kunci; siswa, manajer
Abstrak: Siswa merupakan aset, umat dan bangsa, secara prinsipil pembinaannya ditaklifkan pada kedua orang tua, karena sesuatu dan lain hal maka wewenang itu dilimpahkan kepada para pendidik. Lembaga pendidikan (top manager) sebagai pelaku dan pengemban amanah Allah dan umat dituntut memberikan proses terbaik hingga mengeluarkan (out put) yang dapat memenuhi kebutuhan tripusat pendidikan.

I. Pendahuluan
Kepala sekolah memegang peranan penting dalam mengelola sekolah. Ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap berlangsungnya proses pembelajaran di suatu sekolah. Seorang kepala sekolah dituntut untuk mampu memberiakan ide-ide cemerlang, memprakarsai pemikiran yang baru di lingkungan sekolah dengan melakukan perubahan maupun penyesuaian tujuan, sasaran dari suatu program pembelajaran. Sebagai pemimpin seorang kepala sekolah dituntut untuk dapat menjadi seorang inovator. Oleh sebab itulah kualitas kepemimpinan kepala sekolah sangat signifikan sebagai kunci keberhasilan bagi proses pembelajaran yang berlangsung di suatu sekolah.
Ada beberapa elemen penyelenggaraan pendidikan yang harus selalu dibina oleh kepala sekolah yang dikemukakan oleh Wahjosumidjo yang terangkum dalam bukunya Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Praktik yang meliputi program pengajaran, sumber daya manusia, sumber daya yang bersifat fisik dan hubungan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat.[1] Inilah elemen penyelenggaraan pendidikan yang harus selalu mendapatkan perhatian dari kepala sekolah demi tercapainya tujuan suatu lembaga pendidikan.
Di antara unsur sumber daya manusia yang harus diberdayakan oleh seorang kepala sekolah adalah kelompok siswa. Untuk meningkatkan mutu pendidikan suatu sekolah, kepala sekolah dituntut untuk mau dan mampu melakukan upaya pengembangan pengelolaan sekolah seperti dengan melakukan manajemen kesiswaan. Agar pengelolaan kesiswaan berhasil dengan baik, seorang kepala sekolah harus menyusun serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan manajemen kesiswaan. Inilah fokus pembahasan makalah singkat ini yang ingin membahas tentang manajemen kesiswaan dan hal-hal yang berhubungan dengannya.

II. Pengertian Manajemen Kesiswaan
Ungkapan manajemen kesiswaan terdiri dari dua kata yaitu manajemen dan kesiswaan. Penulis tidak lagi mendiskripsikan pengertian manajemen dalam makalah ini mengingat pada makalah sebelumnya yang berjudul manajemen personalia telah dibahas secara terperinci dan jelas pengertian manajemen. Sementara itu yang dimaksud dengan kesiswaan ialah segala sesuatu yang menyangkut dengan peserta didik atau yang lebih populer dengan istilah siswa.[2]
Dengan demikian manjemen kesiswaan memiliki pengertian suatu proses pengurusan segala hal yang berkaitan dengan siswa di suatu sekolahmulai dari perencanaan, penerimaan siswa, pembinaan yang dilakukan selama siswa berada di sekolah, sampai dengan siswa menyelesaikan pendidikannya di sekolah melalui penciptaan suasana pembelajaran yang kondusif dan konstruktif terhadap berlangsungnya proses belajar mengajar atau pembelajaran yang efektif.[3] Dengan kata lain manajemen kesiswaan merupakan keseluruhan proses penyelenggaraan usaha kerjasama dalam bidang kesiswaan dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah.
Adapun manajemen kesiswaan itu sendiri memiliki tujuan mengatur kegiatan-kegiatan dalam bidang kesiswaan agar proses pembelajaran yang dilaksanakan di suatu sekolah dapat berjalan dengan lancar, tertib dan teratur sedemikian rupa sehingga apa yang menjadi tujuan utama dari suatu program pembelajaran di sekolah dapat tercapai secara optimal.

III. Tanggung Jawab Kepala Sekolah dalam Manajemen Kesiswaan
Tanggung jawab kepala sekolah secara garis besar yang berhubungan dengan manajemen kesiswaan adalah memberikan layanan kepada siswa dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya secara efektif dan efisien. Adapun kegiatan yang harus dilakukan oleh kepala sekolah dalam manajemen kesiswaan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama, yaitu kegiatan penerimaan siswa, pembinaan siswa dan pemantapan kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa melalui program di sekolah.
Penerimaan siswa merupakan proses pendataan dan pelayanan kepada siswa yang baru masuk sekolah, setelah mereka memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh sekolah tersebut. Kegiatan ini mewarnai kesibukan sekolah menjelang tahun ajaran baru, dimana kepala sekolah perlu membentuk semacam kepanitiaan yang dijadikan sebagai penerima siswa baru. Dalam hal ini kepala sekolah dapat berpedoman pada pedoman penerimaan siswa baru yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Kegiatan selanjutnya setelah penerimaan siswa baru adalah pendataan siswa.
Data ini sangat diperlukan untuk melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan jika siswa menemui kesulitan dalam belajar, memberi pertimbangan terhadap prestasi belajar siswa, memberikan saran kepada orang tua tentang prestasi belajar siswa, pindah sekolah dan lain sebagainya.[4] Selain hal tersebut di atas ada beberapa kegiatan yang lain yang harus dilakukan ketika penerimaan siswa baru yaitu meliputi; penetapan daya tampung sekolah, penetapan syarat-syarat bagi calon siswa untuk dapat diterima di sekolah yang bersangkutan dan pembentukan panitia penerimaan siswa baru.[5]
Kegiatan selanjutnya yang harus dilakukan oleh kepala sekolah dalam kaitannya dengan manajemen kesiswaan ialah pembinaan siswa. Pembinaan siswa adalah pembinaan layanan kepada siswa baik didalam maupun di luar jam pelajarannya di kelas. Dalam pembinaan siswa dilaksanakan dengan menciptakan kondisi atau membuat siswa sadar akan tugas-tugas belajar mereka. Dalam hal ini langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah adalah memberikan orientasi kepada siswa baru, mengatur dan mencatat kehadiran siswa, mencatat prestasi dan kegiatan yang diraih daan dilakukan oleh siswa dan mengatur disiplin siswa selaku peserta didik di sekolah.
Di samping itu seorang kepala sekolah juga dituntut untuk melakukan pemantapan program siswa. Hal ini berkaitan dengan selesainya belajar siwa. Apabila siswa telah selesai dan telah menamatkan studinya, lulus semua mata pelajaran dengan memuaskan, maka siswa berhak mendapatkan surat tanda tamat belajar dari kepala sekolah. Untuk mencapai dan melaksanakan tugas-tugas tersebut, seorang kepala sekolah selaku pengelola sekolah harus melakukan hal-hal berikut ini yaitu meliputi pengelolaan perencanaan kesiswaan, mengadakan pembinaan dan pengembangan kegiatan siswa serta mengevaluasi kegiatan ekstra kurikuler.
Tugas dan tanggung jawab kepala sekolah sehubungan dengan perencanaan kesiswaan meliputi sensus sekolah, yaitu berupa pendataan anak-anak usia sekolah yang diperkirakan akan masuk sekolah. Hal ini akan mempengaruhi penetapan persyaratan penerimaan siswa baru, disamping sensus sekolah juga penting dilaksanakan untuk menentukan daya tampung sekolah. Selain sensus sekolah, kepala sekolah juga harus menentukan jumlah siswa yang akan diterima, penerimaan siswa, pengelompokan, kenaikan kelas, mutasi siswa, kemajuan belajar siswa, pencatatan siswa dan registrasi serta pelaporan hasil belajar.
Pada bidang pembinaan dan pengembangan kesiswaan tugas seorang kepala sekolah ialah menciptakan kondisi atau membuat siswa sadar akan tugas-tugas belajarnya. Pembinaan kesiswaan merupakan pemberian layanan kepada siswa baik di dalam maupun di luar jaam belajar mereka. Dalam melakukan pembinaan dan pengembangan siswa, kepala sekolah harus senantiasa memperhatikan hak dan kewajiban siswa, seperti; mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan mereka, hak untuk memperoleh penddikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, hak untuk mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan dan sebagainya. Selain hak-hak tersebut, siswa juga memiliki kewajiban untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali siswa yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku, menghormati tenaga pendidikan dan siswa juga berkewajiban untuk mematuhi peraturan yang berlaku.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan dalam rangka pembinaan kesiswaan meliputi pemberian orientasi kepada mahasiswa baru, pengaturan dan pencatatan kehadiran siswa. Kegiatan ini merupakan kegiatan dan tugas yang sangat esensial dalam pengelolaan kesiswaan, karena kehadiran siswa merupakan syarat untuk memperoleh ilmu pengetahuan daan mendapatkan pengalaman belajar. Ada beberapa alat yang digunakan untuk mencatat kehadiran siswa seperti, papan absensi harian siswa per kelas dan per sekolah, buku absensi harian siswa dan rekapitulasi absensi siswa.
Hal lain yang juga dapat dilakukan untuk pembinaan kesiswaan ialah mencatat prestasi dan kegiatan siswa berupa daftar siswa di kelas, grafik prestasi belajar dan daftar kegiatan siswa. Di samping itu juga dapat dilakukan pengaturan disiplin siswa di sekolah, karena disiplin merupakan suatu keadaan dimana sikap, penampilan dan tingkah laku siswa sesuai dengan tatanan nilai, norma dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di sekolahdaan di kelas dimana mereka berada.
Dalam kerangka peningkatan disiplin, siswa dapat mengupayakan dan berusaha untuk melakukan hal-hal berikut seperti; hadir di sekolah 10 menit sebelum pelajaran dimulai, mengikuti semua kegiatan belajar mengajar dengan aktif, mengerjakan tugas dengan baik, mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang dipilihnya, memiliki kelengkapan belajar, mematuhi tata tertib sekolah, tidak meninggalkan sekolah tanpa izin dan lain-lain yang dapat meningkatkan disiplin siswa.[6]
Di samping itu, dapat juga dilakukan hal-hal lain dalam rangka pembinaan kesiswaan seperti pengaturan tata tertib sekolah karena tata tertib merupakan salah satu alat yang dapat digunakan oleh kepala sekolah untuk melatih siswa agar dapat mempraktikkan disiplin; pemberian promosi dan mutasi seperti dengan adanya kenaikan kelas yang merupakan perpindahan dari satu kelas ke kelas lainnya yang lebih tinggi setelah melalui persyaratan tertentu yang telah dibuat dan norma tertentu juga yang telah ditetapkan oleh sekolah. Sementara mutasi merupakan perpindahan siswa dari satu sekolah ke sekolah lainnya karena alasan tertentu. Mutasi harus dilakukan dengan prosedur tertentu dan mekanisme tertentu pula serta harus dicatat pada dua sekolah, sekolah asal dan sekolah yang dituju.
Kegiatan selanjutnya yang juga dapat dilakukan dalam rangka pembinaan kesiswaan adalah pengelompokan siswa. Kegiatan pengelompokan siswa merupakan kegiatan yang biasanya dilakukan setelah seorang siswa dinyatakan lulus dan boleh mengikuti program pembelajaran di sekolah tertentu. Kegiatan pengelompokan ini dimaksudkan agar tujan yang telah ditetapkan dalam proses pembelajaran dapat tercapai secara optimal dengan efektif dan efisien. Wujud dari kegiatan pengelompokan ini ialah pembagian siswa kedalam kelas-kelas maupun kelompok belajar tertentu dengan alasan dan pertimbangan tertentu seperti tingkat prestasi yang dicapai sebelumnya dan lain sebagainya.
Selain pengembangan dan pembinaan siswa yang ditinjau dari segi kokurikuler juga ada kegiatan ekstra kurikuler. Kegiatan kokurikuler bertujuan agar siswa lebih mendalami dan menghayati bahan yang dipelajari dalam kegiatan intra kurikuler. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan baik secara perorangan maupun secara kelompok, dalam bentuk pekerjaan rumah ataupun tugas-tugas lain yang menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran dengan tatap muka.
Sementara itu kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan diluar jam pelajaran, baik itu dilakukan di sekolah maupun diluar sekolah namum masih dalam ruang lingkup tanggung jawab kepala sekolah. Kegiatan ekstra kurikuler ini bertujuan untuk memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan siswa mendorong pembinaan nilai dan sikap mereka demi untuk mengembangkan minat dan bakat siswa. Siswa dalam hal ini dapat memilih kegiatan ekstra kurikuler yang mana yang ia minati yang sesuai dengan kecenderungan jiwa mereka. Kegiatan ekstra kurikuler ini mengutamakan pada kegiatan kelompok.
Ada beberapa hal yang perlu dan harus diperhatikan dalam melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler seperti; meningkatkan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilam siswa, mendorong bakat dan minat mereka, menentukan waktu, obyek kekuatan sesuai dengan kondisi lingkungan. Selain itu kegiatan ekstra kurikuler dapat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti; kepramukaan, usaha kesehatan sekolah, patroli keamanan sekolah, peringatan hari-hari besar agama dan nasional, pengenalan alam sekitarnya, oleh raga dan lain sebagainya.
Apabila manajemen kesiswaan kita hadapkan pada konteks sekarang, maka kesiapan siswa dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer tentu jauh lebih berat bila dibandingkan dengan era yang dihadapi oleh siswa pada dasa warsa sebelumnya. Siswa dihadapkan pada tantangan global yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya dan teknologi yang mengitarinya.
Mengutip pernyataan Suyanto dan Djihad Hisyam dalam bukunya Refleksi dan Reformasi Pendidikan Islam di Indonesia Memasuki Mileniaum III, abad ke 21 menyodorkan lingkungan sosial yang sangat berbeda dengan lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan teknologi pada abad sebelumnya. Padahal lingkungan yang mengelilingi anak-anak kita tersebut akan sangat dominan pengaruhnya terhadp pembentukan prilaku, kepribadian maupun moralitas.[7] Dalam kerangka pendidikan anak-anak, kita perlu mengantisipasi berbagai persoalan yang mungkin dihadapi oleh mereka dalam menyongsong milenium ke 3 ini.
Untuk membahas jalan keluar dari permasalahan tersebut, maka dalam manajemen kesiswaan perlu adanya usaha untuk meminimalisir gejala-gejala tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mencoba untuk mensiasati perkembangan siswa saat ini karena siswa merupakan bagian terbesar dari generasi muda yang akan menjadi penerus perjuangan dan cita-cita bangsa. Untuk mensiasati perkembangan siswa tersebut, diperlukan metode dan strategi yang perlu dipahami dan diterapkan dalam proses manajemen pendidikan.
Pembinaan kesiswaan mempunyai nilai yang strategis, di samping sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan sumber daya manusia masa depan, sasarannya adalah anak usia 6-18 tahun, suatu tingkat perkembangan usia anak, dimana secara psikis dan fisik anak sedang mengalami pertumbuhan, suatu periode usia yang ditandai dengan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, agresifitas yang tinggi dan mudah dipengaruhi oleh lingkungan.[8]
Guna mengantisipasi kompleksitas permasalah tersebut diperlukan pembinaan anak usia sekolah dengan profesional yang di dalamnya mengandung berbagai nilai, seperti peningkatan mutu gizi, perilaku kehidupan beragama dan perilaku terpuji, penanaman rasa cinta tanah air, disiplin dan kemandirian, peningkatan daya cipta, daya analisis, prakarsa dan daya kreasi, penumbuhan kesadaran akan hidup bermasyarakat, serta kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga diharapkan anak nantinya akan menjadi sosok yang siap dan tahan banting menghadapi kompleksitas tantangan perkembangan zaman yang semakin pesat.
Sebagai akhir dari pembahasan ini penulis ingin mengungkapkan sebuah teks hadith yang intinya memberikan gambaran betapa urgennya membina anak, mengarahkannya sesuai dengan kemauan pendidik, sebab jika tidak tentu anak tersebut akan menjadi manusia yang lepas kendali- untuk tidak mengatakan buas- yang berbunyi
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه (رواه البخارى) [9]
Artinya: “Dari Abu Hurairah (ra) Rasulullah SAW bersabda: “tidak seorang anak pun yang baru lahir kecuali dia bersih, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi.”(HR.Bukhari).
Hadith di atas memberikan gambaran betapa anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, tinggal orang tuanyalah sebagai pendidiknya yang akan menjadikannya Yahudi, Majusi ataupun Nasrani. Maka jelaslah bahwa manajemen kesiswaan memegang pernan penting dalam menciptakan generasi masa depan yang berbudaya dan berilmu pengetahuan serta berbasis keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pencipta.

IV. Penutup
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa manajemen kesiwaan merupakan suatu proses pengurusan segala hal yang berkaitan dengan siswa. Ia merupakan bagian dari tugas dari kepala sekolah yang secara garis besar memberikan layanan bagi siswa. Ia menjadi sangat urgen karena keberhasilannya akan menentukan baik buruknya generasi yang akan memegang tongkat estafet perjuangan bangsa di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka


Ary H. Gunawan, Administrasi Sekolah: Administrasi Pendidikan Mikro, Cet. I, Jakarta, Rineka Cipta, 1996.
DEPDAGRI RI DITJEN Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah dan Dep. Pdan K DITJEN Pendidikan Dasar dan Menengah, Pengelolaan Sekolah di Sekolah Dasar, (Jakarta, 1996.
Djauzak Ahmad, Petunjuk Penignkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, (Jakarta, Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 1993
Frans Mataheru, Managemen Kesiswaan, Bahan Sajian Pelatihan Manajemen Penddikan bagi Kepala SD Daerah Binaan PEQIP se Indonesia, Malang, 1996
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Cet. III, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996
Soerjani, Manajemen Kesiswaan, Bahan Sajian Pelatihan Manajemen Pendidikan bagi Kepala SD Daerah Binaan PEQIP se Indonesia, Malang, 1996
Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan Islam di Indonesia Memasuki Mileniaum III, Cet. I, Cet. I, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa, 2000
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Praktik, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999
[1] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Praktik, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 22204.
[2] Ary H. Gunawan, Administrasi Sekolah: Administrasi Pendidikan Mikro, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), hal. 9.
[3] Frans Mataheru, Managemen Kesiswaan, Bahan Sajian Pelatihan Manajemen Penddikan bagi Kepala SD Daerah Binaan PEQIP se Indonesia, Malang, 1996, hal.1.
[4] DEPDAGRI RI DITJEN Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah dan Dep. Pdan K DITJEN Pendidikan Dasar dan Menengah, Pengelolaan Sekolah di Sekolah Dasar, (Jakarta, 1996), hal. 19-20.
[5] Soerjani, Manajemen Kesiswaan, Bahan Sajian Pelatihan Manajemen Pendidikan bagi Kepala SD Daerah Binaan PEQIP se Indonesia, Malang, 1996, hal. 2.
[6] Lihat, Djauzak Ahmad, Petunjuk Penignkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, (Jakarta, Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 1993).
[7] Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan Islam di Indonesia Memasuki Mileniaum III, Cet. I, Cet. I, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa, 2000), hal.55.
[8] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Cet. III, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 49-80.
[9] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt), hal. 458.
ANAK DALAM ADAT ACEH
Oleh: H.Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Prov.NADEmail: ba1isma@yahoo.co.id


Anak Dalam Rumah Tangga
Dalam kultur adat Aceh, anak dalam rumah tangga atau keluarga dapat dilihat dari dua dimensi alamiah, yaitu : pertama, anak sebagai buah alami (sunnatullah), hasil kekuatan rasa kasih sayang suami isteri (mu’asyarah bil ma’ruf) sebagai mawaddah dan rahmat Allah SWT untuk memperkuat bangunan hubungan rumah tangga yang rukun damai, bahagia dan sejahtera sesuai dengan nilai-nilai Islami. Kedua, Anak sebagai kader penerus generasi, pelindung orang tua dikala lemah dan pelanjut do’a (ritual communication) manakala orang tuanya meninggal dunia memenuhi panggilan Khalik sebagai penciptanya

Bagaimana hubungan naluri batiniah dan jasmaniah antara orang tua dengan anak-anaknya dapat ditemukan dalam nuansa ungkapan pantun-pantun kebiasaan rumah tangga orang Aceh di gampong-gampong antara lain sebagai berikut:

Jak kutimang bungong meulu, gantoe abu rayeek gata
Tajak meugoe ngon ta mu’u, mangat na bu tabrie keu ma
Jak kutimang bungong padei, beu jroeh piei oh rayeek gata
Beu Tuhan bri lee beureukat, ta peusapat puwoe keuma
Jak ku timang bungong padei, beu jroh piee rayeek gata
Tutoe beujroh bek roh singkei, bandum sarei ta meusyedara

Nyanyian pantun-pantun tersebut, bahkan banyak narit-narit maja lainnya, seperti ” Ta’zim keu gurei meuteumeung ijazah, ta’zim keu nangbah tamong syuruga”,yoh watei ubit beuna ta papah, beik jeut keu susah oh watei raya”.

Biasanya narit maja disyairkan atau dilagukan oleh orang tua sejak anak dalam ayunan dengan suara yang merdu. Pesan dan bimbingan itu secara naluri membuat anak terbuai nikmat dalam ayunan. Nilai pesan itu mengandung makna bahwa seorang anak harus bersiap membangun hari depan dan bertanggung jawab dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya kepada orang tuanya. Tali hubungan itu akan terbina akrab, manakala yang mengasuhnya adalah ibu kandung sendiri. Mungkin akan berbeda bila yang mengasuh itu orang lain di luar lingkungan budaya keluarganya, akan membuat si anak kehilangan korelasi dengan bangunan prilaku orang tuanya

Pesan semacam itu memberi makna betapa besar rasa kasih sayang, tanggung jawab dan harapan orang tua dalam mengasuh anaknya, mengantarkan mereka sampai kejenjang kemampuan membangun kehidupan. Dengan demikian, diharapkan anak nantinya betul-betul menjadi pelindung dan membantu orang tuanya, dikala mereka berada dalam keadaan lemah dan uzur (hubungan vertikal timbal balik dan tidak ada elemen yang disia-siakan). Tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah memelihara kesehatan dan membesarkannya, memberi pendidikan, mengasuh akhlak dengan ibadah dan pendidikan al-Qur’an, membimbing dan membina tatanan budaya adat sebagai patron pembangunan harkat dan martabat identitas keacehannya (identitas plus dan kompetitif dengan adat atau kultur lainnya). Tanggung jawab yang melekat pada orang tua, adalah sepanjang anak belum dewasa. Anak dewasa dalam kultur adat Aceh, apabila telah mampu mandiri atau telah berkeluarga.

Peranan Rumah Tangga Dalam Kehidupan Adat
Masyarakat adat hidup dalam ikatan kebersamaan (paguyuban dan komunal) sebagai ciri khas dan asas utama dalam pembinaan ketahanan hidup keluarga bahagia dan sejahtera dunia akhirat. Nilai-nilai dan asas kebersamaan itu mencakup sikap prilaku, sebagai berikut : (1) Terbina ikatan keluarga atau kaom atau kebanggaan kaum; (2) Sifat tolong menolong atau saling membantu, (3) Saling nasehat menasehati (4) Tanggung jawab moral bersama, (5) Ada panutan kepemimpinan keluarga (strata urutan kewibawaan keluarga)

Pembinaan asas kebersamaan ini, dalam kehidupan keluarga telah dimulai sejak proses pencaharian jodoh dalam hal perkawinan anaknya. Karena itu, dalam bangunan keluarga ada prosedur dan mekanisme yang dilakukan, yaitu : (a) Penilaian dan penentuan jodoh melalui musyawarah keluarga atau partisipasi orang tua; (b) Tahapan proses cah rot atau menyisir siapa calon; (c) Masa pertunangan; (d) Waktu pernikahan; (e) Khanduri atau walimatul ’ursi (pesta perayaan pernikahan); (f) Intat lintoe; (g) Tung dara baroe; (h) Masa intat boh kayee (ketika pengantin wanita hamil); (i) Masa upacara ba-bu atau meulineum (ketika memasuki usia kehamilan tujuh bulan); (j) Upacara cukoe oek (cukur rambut bayi yang baru lahir); (k) Upacara gidong tanoh (turun tanah bayi yang baru lahir di usia yang telah ditentukan)

Bahkan di beberapa wilayah adat masyarakat Aceh, hubungan anak dengan orang tua dapat dilihat dalam budaya adat, seperti: (1) Aneuk ikot ureung chik; (2) Adat hibah atau wasiat dari orang tua; (3) Adat peunulang, pemeukleih dari orang tua.

Sebagaimana dimaklumi, adat Aceh mengacu kepada nilai-nilai Islami: ”Hukom (agama) ngon adat, lagei zat ngon sifeut ”. Karena itu, tanggung jawab anak muthlak pada orang tua. Bila orang tua sudah tidak ada, maka tanggung jawab berpindah kepada : (1) walinya atau kaomnya; (2) orang tua kampung (Ureung tuha gampong); (3) masyarakat lingkungannya; (4) baitul mal atau pemerintah.

Bentuk tanggung jawab utama untuk anak menurut tatanan adat budaya, sampai anak menjadi dewasa adalah mendapatkan hak perlindungan dari orang tua, seperti : Tempat tinggal, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, akhlak, ibadah dan al-Quran, kehormatan keluarga dan memelihara harta oleh walinya (bila orang tua meninggal)

Pergeseran, budaya adat pemeliharaan anak
Pergeseran nilai-nilai budaya adat Aceh dalam hal pemeliharaan anak (sehingga bermasalah menimpa anak ) dapat terjadi, karena : (a) bencana alam tsunami dan bencana alam lainnya (sangat darurat); (b) dalam keadaaan perang atau krisis; (c) dalam keadaan orang tuanya miskin atau lemah; (e) usaha-usaha pihak tertentu untuk maksud tertentu (penculikan, penjualan anak); (f) hancurnya struktur dan kultur atau kehilangan nilai-nilai budaya

Kondisi bencana atau hal-hal luar biasa dan sangat darurat tersebut, dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi anak, seperti: anak diambil orang atau diadopsi secara ilegal, anak diperas jadi pengemis, anak menjadi terlantar (anak jalanan), Anak dijual (traficking), anak diambil atau dihilangkan hak-hak propertinya terhadap harta benda peninggalan orang tuanya, adanya perlakukan kekerasan terhadap anak atau melanggar hak anak.

Menurut informasi yang berkembang, hal-hal tersebut diatas terjadi pada saat tsunami menimpa sebagian anak-anak Aceh. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, disinilah peranan dan tanggung jawab orang tua, wali, masyarakat gampong atau masyarakat Aceh umunya serta pemerintah Aceh untuk menanggulanginya demi harkat dan martabat penyelamatan dan perlindungan anak-anak Aceh. Adat Aceh boleh dan dapat menerima bantuan dari siapapun (dalam atau luar negeri), namun perlindungan anak yang perlu diselamatkan adalah aqidah dan nilai-nilai keacehannya sebagai asas filosofi hidup (way of life) bagi kesejahteraan dunia dan akhirat.
Perlindungan anak
Beberapa ungkapan diatas, memberi gambaran, bahwa dalam tatanan budaya adat Aceh sangatlah menjunjung upaya perlindungan anak. Karena itu, dari aspek hukum adat atau adat istiadat, anak wajib mendapat perlindungan tentang hak-haknya. Menyangkut dengan anak-anak yang tidak lagi memiliki orang tuanya karena berbagai musibah seperti tsuami atau karena bencana alam lainnya, maka masyarakat atau Baitul Mal atau pemerintah berkewajiban untuk menempati fungsi orang tuanya bertindak untuk menjamin melindungi hak-haknya (termasuk perlindungan harta). Peranan Keuchik (kepala desa) dan Tuha Peut di gampong-gampong sangat menentukan. Sedangkan yang berwenang dalam melakukan penetapan hukum terhadap masalah ini adalah Mahkamah Syar’iyah.

Kenyataan sekarang, banyak kasus di Aceh misalnya soal seseorang yang mengadopsi anak atau diadopsi lembaga ataupun secara personal oleh orang diluar Aceh telah merubah dan menggantikan nilai-nilai ke-Aceh-an, bahwa pola-pola adat ke-Aceh-an telah mulai ditinggalkan. Untuk ini, perlu upaya mencabut kembali anak tersebut untuk dikembalikan kehabitat budaya asal anak tersebut. Kalau perlu, upaya hukum dapat ditempuh dan siapapun pelanggar perlindungan anak, kepada mereka dapat dikenakan ancaman hukum postif sebagaimana diatur dalam KUHP atau dengan menggunakan undang-undang perlindungan anak. Adapun menyangkut dengan penetapan wali bagi anak dapat diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah. ”Matei aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita”, ”akhei donya lee ureung dok, di meurampok peu-peu nyang na”. Semoga anak-anak Aceh kedepan dapat hidup dalam budaya dan adat Aceh yang sejatinya bertujuan membentuk pribadi yang cerdas, tangguh, beradab dan beriman. Wallahu’alam

Keluarga Qur'ani

KELUARGA QUR’ANI MENURUT HIDAYAH AL-QUR’AN
(Tinjauan Tafsir Maudhu’iy)

ABSTRAK

Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil, keberadaannya sangat menentukan suatu masyarakat, karena masyarakat adalah sekumpulan keluarga. Bila keluarga baik maka akan tercipta masyarakat yang baikpula. Keluarga bagi anak-anak adalah madrasah awal sebelum mereka mengenal pendidikan formal di sekolah. Kondisi ini menuntut peran kedua orang tua dan semua anggota keluarga lebih maksimal dan optimal untuk menciptakan lingkungan keluarga yang edukasi Qur’ani, sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kondisi dan bimbingan di bawah naungan al-Qur’an. Mengingat urgensitasnya maka pembentukan dan pembinaannya juga harus menjadi perhatian prioritas dengan mengacu pada hidayah al-Qur’an.
Fokus penelitian ini adalah mengangkat permasalahan bagaimana konsep yang ditawarkan (hidayah) al-Qur’an dari membentuk dan membina keluarga? Serta apa yang menjadi indikasi sebuah keluarga yang Qur’ani? Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep keluarga dengan hidayah al-Qur’an dan mencari indikasi keluarga yang Qur’ani sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian tafsir maudu’i dengan jenis penelitian library research.Berdasarkan data-data dan informasi yang diperoleh dari kajian ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan permasalahan serta dengan menggunakan metode sebagaimana disebutkan maka diperoleh hasil, pembentukan sebuah keluarga harus lebih mengedepankan pada aqidah. Term keluarga dalam Al-Qur’an ada yang disebutkan secara langsung dan ada pula yang disebutkan secara tidak langsung. Indikasi keluarga Qur’ani di antaranya adalah; niat awal pembentukan keluarga adalah karena semata-mata beribadah kepada Allah, anggota keluarga merasa tentram (sakinah) di dalam rumah tangga karena adanya rasa tanggung jawab jasmani dan rohani dari pemimpin (suami/ayah) sehingga satu dengan yang lainnya merasa satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (mawaddah), di samping itu juga tertanam rasa bahwa mereka istiqamah untuk menghadapi berbagai kendala kehidupan dengan bersandar pada Allah dengan kondisi ini lahirlah rasa saling kasih, sayang yang abadi (rahmah).