Selasa, 28 April 2009

Kemunduran Pendidikan Islam

Kemunduran Pendidikan Islam
(Kilas Balik Sejarah dan Kontekstualisasi)
Muhajir bin Murlan, M.Ag

I. Pendahuluan
Dalam catatan sejarah, tidak ada satupun peradaban yang pernah jaya yang tidak disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh dan seriaus serta perhatian yang sangat besar dalam bidang pendidikan. Hal ini sepenuhnya berlaku untuk kejayaan peradaban Islam yang mampu tampil memimpin dunia selama berabad-abad lamanya walaupun pada akhirnya kebudayaan Islam dan kejayaannya telah mengalami kemunduran- untuk tidak mengatakan kehancuran- serta hanyalah tinggal kenangan sejarah yang terangkum dalam catatan histories, digantikan dan diambil oleh peradaban Barat.[1]
Berbicara tentang sejarah kemunduran pendidikan Islam tidak terlepas dari kemelut politik yang dialami oleh umat Islam.[2] Karena faktor politik turut mewarnai maju mundurnya pendidikan suatu bangsa. Kehidupan dan suasana politik suatu bangsa yang mapan dan maju merupakan salah satu aspek yang turut memainkan peranbagi maju maupun mundurnya pendidikan bangsa tersebut. Apabila kondisi politik stabil, tentu saja faktor pendidikan dan pengembanganya akan lebih baik. Sebaliknya jika tatanan politik suatu bangsa tidak menentu bahkan kacau dan mengalami gejolak, sebagai konsekuensi logis hal ini akan membawa dampak buruk bagi perkembangan pendidikan bangsa itu. Ringkasnya keterpurukan sector pendidikan suatu bangsa memiliki hubungan yang erat dengan kondisi politik suatu bangsa, meskipun hal ini bukan merupakan suatu keniscayaan yang kebenarannya mutlak dan tidak dapat dibantah lagi.
Sejarah telah mencatat bahwa kemunduran pendidikan Islam di masa lampau bahkan hingga saat sekarang pada mulanya dipengaruhi kondisi politik pemerintahan umat Islam ketika itu. Kemajuan pendidikan Islam yang menjadi kebanggaan umat Islam hanyalah tinggal angan-angan dan kenangan yang tertinggal di buku-buku catatan sejarah. Dapat dillihat dan dibaca dalam catatan histories yang menggambarkan kemajuan pendidikan Islam. Hal ini terbukti dengan lahirnya berbagai disiplin ilmu dalam Islam, seperti; astronomi, geografi, aritmatika, ilmu kedokteran dan lain-lain.
Selain itu terlebih lagi lahirnya berbagai aliran mazhab dalam Islam dan ilmuwan-ilmuwan terkemuka seperti Abu Ya’kub bin Ishaq Al Kindi, Abu Nasr Muhammad Al Faraby, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Sian- Ibnu Sina- dan lain-lain dalam bidang-bidang disiplin ilmu tertentu yang menjadi rujukan dan referensi dunia internasionalmerupakan suatu bukti kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam ketika itu. Namun – sekali lagi – ini adalah mimpi dan cerita masa lalu yang hanya tinggal kenangan. Kenyataannya sekarang pendidikan Islam mengalami kemunduran dan bahkan dapat dikatakan kejumudan atau stagnasi. Hal ini diantaranya disebabkan oleh pengaruh dan gejolak dalam bidang politik yang dialami dunia Islam.
Stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor[3] yaitu faktor intern; merupakan faktor dari dalam diri umat Islamyang memberikan saham bagi merosotnya pola fikir umat Islam dan faaktor ekstern yang sekaligus merupakan tonggak sejarah bagi kehancuran budaya dan intelektual kaum muslimin. Kedua faktor ini akan dibicarakan selanjutnya secara lebih spesifik, terlepas dari faktpr mana yang menjadi penyebab utama stagnasi pemikiran umat Islam, namun yang jelas tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam saat ini ialah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan mereka. Umat Islam dituntut untuk memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan pemikiran pendidikan Islam. Tanpa kontribusi nyata yang disumbangkan oleh umat Islam sebagai penerus perjuangan para perintis dan penyebar agama ini, maka kejayaan masa lalu yang pernah dinikmati oleh umat ini yang telah berganti dengan menurunnya kreatifitas logika umat Islam hanya akan merupakan cerita panjang yang hanya bermuara pada penyesalan.
Sejarah kegemilangan dan kemunduran umat islam merupakan ibrah yang harus diambil hikmahnya. Bukankah Al Quran telah memberikan sinyalemen kepada para penganut ajarannya untuk mengambil pelajaran dari cerita yang telah diperankan oleh umat terdahulu di masa lalu? Hal ini sebagaimana dideskripsikan oleh Al Qur’an yang tertuang dalam surat Yusuf ayat 111:


Ayat tersebut memberikan gambaran kepada umat Islam bahwa pada cerita-cerita mereka orang-orang yang hidup terdahulu di masa lalu ada suatu ibrah, pelajaran yang harus diambil hikmahnya oleh oaring-orang yang mau menggunakan akal dan fikirannya untuk memahami cerita tersebut.
Pada bagian yang lain Nabi Muhammad SAW pernah memberikan peringatan bahwa salah satu tanda orang yang celaka ialah orang yang telah melupakan kesalahan (dosa) di masa lalu.[4] Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh surat Yusuf tersebut. Inilah yang barangkali mendorong penulis untuk memberikan deskripsi dan kontekstualisasi kemunduran pendidikan Islam. Karena tanpa kontekstualisasi – dalam tataran pemahaman penulis- sejarah hanya terbatas pada pendiskripsian kronologis suatu peristiwa yang tidak akan banyak berarti tanpa adanya pemahaman dan kontekstualisasi.
Menurut penulis, bagaimanapun pahitnya kenyataan dan realitas sejarah di masa lalu yang telah dialami oleh umat Islam, iaa tetap merupakan suatu pelajaran sejarah yang harus dapat diambil hikmahnya bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran. Berangkat dari pemaparan di atas, penulis ingin mencoba menfokuskan kajian ini pada periode kemunduran pendidikan Islam dan faktor-faktor yang menyebabkannya serta pemahaman kontekstual kemunduran pendidikan Islam di dunia pada umumnya dan Indonesia secara lebih spesifik yang telah memicu keterpurukan intelektual umat Islam.

II. Kemunduran Pendidikan Islam dan Sebab-sebabnya
Kemunduran pendidikan Islam dapat ditinjau dari dua aspek, aspek internal yang merupakan faktor yang terjadi dalam diri umat Islam sendiri dan faktor eksternal yaitu faktor-faktor dari luar umat Islam yang ikut memberikan saham bagi mundurnya pendidikan umat Islam.
Faktor internal atau faktor dari dalam diri umat Islam yang memegang peranan penting bagi kemunduran pendidikan Islam yang bermuara pada stagnasi pola pikir umat ini pada mulanya ialah disebabkan oleh ditinggalkannya pelajaran-pelajaran yang bersifat logika pada lembaga-lembaga pendidikan umat Islam dan diganti dengan pelajaran-pelajaran yang bersifat naqliyah. Hal ini terjadi karena kekhawatiran umat islam ketika itu terhadap terulangnya kembali peristiwa mihnah yang telah membawa banyak korban dan menyisakan kepedihan.
Dalam catatan sejarah sebelumnya, ketika faham Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab dan faham Negara oleh Pemerintahan Bani Abbas, pendidikan Islam mencapai puncak kemajuannya. Namun, kemudian terjadilah sebuah peristiwa berdarah yang terkenal dengan peristiwa mihnah yang dimotori oleh kaum Mu’tazilah. Inti dari peristiwa mihnah ini ialah diundangnyaa orang-orang dan ditanyakan kepada mereka apakah kitab suci Al Qur’an itu makhluq atau bukan. Apabila mereka mengingkari bahwa Al Qur’an itu bukan makhluq maka mereka akan disiksa dan bahkan ada diantara mereka yang dibunuh karena berpegang bahwa al Qur’an itu bukan makhluq. Pemaksaan ide semacam ini telah menimbulkan banyak korban di kalangan tokoh-tokoh sunni yang berpendirian bahwa Al Qur’an itu bukan makhluq tetapi ia qadim. Perlakuan oarang-orang Mu’tazilah ini mendapat pengakuan dan dudkungan dari penguasa ketika itu yakni pemerintahan Daulah Bani Abbas yang membuat para pengikut Sunni menjadi sangat resah dan merasa tertekan.
Kondisi yang sangat memprihatinkan yang terjadi padaaa peristiwa mihnah berlanjut hingga pada suatu ketika salah seorang penguasa dari daulah Bani Abbas, Al Mutawakkil menyatakan bahwa Mazhab Mu’tazilah tidak lagi dianggap dan menjadi mazhab negara dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah. Kebijakan Khalifah Al Mutawakkil[5] menyebabkan kondisi berbalik. Aliran Mu’tazilah yang dahulu dilindungi oleh negara menjadi sangat tertekan dan termarginalkan. Ketika golongan Sunni memegang otoritas politik, tokoh-tokoh dari kalangan Mu’tazilah diusir. Dan golongan sunni akhirnya menjadi kelompok manusia yang antipati terhadap ilmu-ilmu rasional yang sebelumnya dikembangkan oleh orang-orang Mu’tazilah.[6]
Secara perlahan-lahan, umat Islam mulai menjauhi ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat aqliyah. Seakan-akan umat Islam merasa takut bahwa peristiwa mihnah akan terulang kembali jika mereka mempelajari ilmu-ilmu aqliyah. Umat Islam yang mempelajari ilmu-ilmu aqliyah semakin sedikit dan itupun dilakukan secara perorangan. Bahkan sebagian orang Mu’tazilah mempelajarinya secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan oleh kelompok Ikhwanussafa.
Cukup menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh Syed Amir Ali dalam bukunya the spirit of Islam yang telah diterjemahkan dalam Api Islam bahwa agama Muhammad SAW, seperti juga agama Isa AS, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam. Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa.[7]
Sebagai konsekuensi logis ditinggalkannya ilmu-ilmu yang bersifat aqliyah dan digantikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat naqliyah saja, perkembangan ilmu-ilmu yang bersifat rasional menjadi surut. Sebaliknya, ilmu-ilmu naqliyah dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang bersumber dari Islam sehingga umat Islam secara umum lebih cenderung mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari pada ilmu-ilmu rasional. Oleh karena itu kegiatan pendidikan Islamhanya menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkembang hanyalah pemikiran ilmu keagaqmaan khususnya ilmu fiqh. Ketika ilmu fiqh berkembang menjadi kaku dan akal kehilangan peranannya dalam fiqh, taklidpun berkembang, sedangkan pintu ijtihad seakan-akan telah tertutup. Pada akhirnya terjadilah apa yang disebut stagnasi [8] pemikiran umat Islam.
Faktor ekstern yang menjadi pemicu kemunduran pendidikan umat Islam adalah serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke 13 yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Abbasiyah, ketika kota Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dibumihanguskan. Sekitar 800.000 penduduk kota Bagdad dibunuh dalam peristiwa penyerangan tersebut. Perpustakaan dihancurkan dan ribuan rumah penduduk dibakar. Dalam peristiwa tersebut umat Islam kehilanganlembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi pendidikan Islam. Musnahnya ribuan buku, baik buku-buku keagamaan maupun buku-buku tentang ilmu-ilmu sains dan filsaft mempengaruhi perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Berbagai literature ilmu pengetahuan sains dan filsafat telah lenyap dan hangus terbakar.
Kedua faktor di atas telah menyebabkan kehidupan intelektual masyarakat Muslim terus mencekam. Apalagi berkembangnya sikap hidup fatalis[9] dalam masyarakat. Keadaan ini menyebabkan umat Islam hanya bergantung dan mengembalikan segala keuntungan dan penderitaan mereka pada keadilan Tuhan. Mereka yang memilih sikap hidup fatalis tidak lagi memiliki kepercayaan kepada kemampuannya untuk maju ataupun mengatasi masalah yang menimpa mereka dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka masuk ke dalam ajaran-ajaran tarekat, berdo’a sebanyak-banyaknya dan memohon keadilan Tuhan untuk mengembalikan kejayaan yang pernah mereka capai sebelumnya.[10]
Sementara itu Hilmy Bakar Almascaty dalam catatannya yang terangkum dalam Membangun Kembali Sistem Pendidkan Kaum Muslimin mengemukakan bahwa kehancuran Bagdad yang memusnahkan hampir seluruh warisan intelektual kaum Muslimin terdahulu telah melahirkan sikap defensif cendekiawan Muslim yang sangat ekstrim. Keadaan ini sangat mempengaruhi metode intelektual kaum Muslimin. Kemudian pada puncaknya mereka menutup pintu ijtihad yang merupakan puncak kegemilangan Islam dalam mendorong pengikutnya untuk melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif yang digunakan untuk merespon keadaan zamannya. Peristiwa ini adalah merupakan salah satu tragedy terbesar dalam sejarah perkembangan intelektual umat Islam. Akibatnya para cendekiawan sesudahnya hanya membahas dan mensyarah kitab-kitab pendahulu mereka dengan memberikan komentar-komentar detil yang kadangkala mengaburkan inti permasalahan yang dibahas, dan akhirnya justru mendangkalkan pemikiran mereka yang hanya bertaqlid mengikuti pendahulu mereka.[11]
Pada bagian yang lain, Muhammad Abdul Halim Mursi tidak jauh berbeda dalam memberikan keterangan sebab-sebab kemunduran pendidikan Islam. Dalam catatannya yang terangkum dalam Westernisasi dalam Pendidikan Islam, ia mengemukakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab kondisi umat Islam semakain hari semakin merosot dan terbelakang ialah ketika khalafah Islam di bagdad mendapatkan serangan dari bangsa Tartar yang datang dari Asia Tengah yang menyerang Bagdad secara membabi buta, menghancurkan dan membakar segala fasilitas milik kaum Muslimin yang ada di Bagdad[12]. Inilah dua faktor utama yang menjadi sebab kemunduran pendidikan Umat Islam.
Dalam tataran kontekstual kemunduran pendidikan Islam pada saat ini bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar umat Islam yang memang berusaha merongrong pendidkan Islam melalui budaya yang mewreka hembuskan. Akan tetapi dari dalam umat Islam sendiri timbulnya keengganan di kalangan umat Islam untuk keluar dari kejumudan berfikir. Di samping – sebagaimana dimaklumi- kondisi social politik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan pendidikan Islam. Apabila umat Islam tidak ingin terlena dan tertidur pulas serta terus menerus dalam kejumudan dan keterpurukan, maka umat ini harus bangkit dan menyusun kembali strategi dalam menyahuti tantangan kontemporer.

III. Penutup
Kemunduran pendidkan Islam pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern, dimana umat Islam telah meninggalkan ilmu-ilmu provan yang bersifat rasional dan hanya mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat naqliyah. Faktor kedua ialah faktor ekstern, dimana umat Islam mengalami kehancuran pada masa Daulah Bani Abbas dengan datangnya serangan dari bangsa Tartar dan Mongol yang telah membumihanguskan khazanah dan peradaban umat Islam di Bagdad. Inilah faktor utama yang menyebabkan kejumudan dan kemunduran pendidikan umat Islam yang masih mereka rasakan akibatnya hingga sekarang.
Daftar Pustaka

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Mileniaum Baru, Cet. II, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. VI, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997).

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos, 1999).

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. V, (Jakarta, UI Press, 1986).

Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian Atas Lembaga-lembaga Pendidikan, Cet.I, (Bandung, Mizan, 1994).

Hilmy Bakar Almascaty, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, (Universitas Islam Azzahra, tt.).

Ibnu Hajar al Asqalani, Nashaih li Al’Ibad, tt.

Ismail SM dkk (Ed), Paradigma Pendidikan Islam, Cet.I, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001).

Muhammad Abdul Alim Mursi, Westernisasi dalam Pendidikan Islam, Cet. I, terj. Abdul Majid Khan, (Jakarta, Fikahati Aneska, 1992).

Syed Amir Ali, Api Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978).
[1] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan, Cet. I, (Bandung, Mizan, 1994), hal. 11.
[2] Hanun Asrohah dalam catatannya mengemukakan pendidikan sebagai suatu system tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik. Antarta politik dan pendidikan Islam terjalin hubungan erat. Berubahnya kebijakan di bidang politik dapat mempengaruhi pelaksanaan dan kebijakan bidang pendidikan Islam. Pada masa dinasti Bani Abbas/ klasik, paham-paham keagamaan turut mewarnai situasi politik di dunia Islam. Turun naiknya berbagai aliran keagamaan dalam pentas politik membuat berubah-ubahnya kebijaksanaan penguasa. Akibatnya, pelaksanaan dan kebijakan pendidikan Islam turut pula terpengaruh sesuai dengan selera penguasa politik. Pendidikan Islam yang sedang dalam masa pertumbuhan kemudian berkembang menjadi pendidikan yang relatif maju, karena berubahnya suasana dan kebijakan politik Islam, secara perlahan-lahan kondisi pendidikan Islam mengalami kemunduran. Lihat, Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, logos, 1999), haaal. 92-93.
[3] Ibid, hal. 120-121.
[4]Dalam kitabnya Nashaih li al Ibad, Alhafidz Ibnu Hajar al Asqalani pernah menggambarkan sebuah teks hadith yang intinya menceritakan bahwa ada empat hal yang menjadi tanda-tanda kehancuran bagi seseorang yaitu melupakan kesalahan dosa (kesalahan ) di masa lalu sementara kesalahan-kesalahan (dosa) yang telah ia lakukan di masa lalu itu tercatat di sisi Allah, mengingggat-ingat dan menyebut kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan di masa lalu sementara ia tidak pernah tahu apakah kebaikan tersebut diterima ataupun ditolak, memandang ke atas dalam urusan dunia dan memandang kebawah (melihat orang yang kapabilitasnya lebih rendah dari dirinya) dalam urusan agama. Inilah tanda-tanda kehancuran (syaqawah) bagi seseorang yang dilukiskan oleh Ibnu Hajar. Lihat, Alhafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Nashaih li Al Ibad, tt. Hal 11.
[5] Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam juga memberikan keterangan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Al Mutawakkil, aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya kaum salaf terhadap faham-faham mu’tazilah seperti halnya kaum Mu’tazilah yang tidak toleran terhadap keyakinan Sunni telah memberikan konsekuensi logis menyempitnya horizon intelektual kaum muslimin. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. IV, (Jakarta, raja Grafindo Persada, 1997), hal.84.
[6] Mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat rasional memang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum kehancuran aliran teologi kaum Mu’tazilah. Akan tetapi dengan adanya “pemakruhan” – untuk tidak mengatakan pengharaman – mempelajari ilmu provan yang menggunakan penalaran setelah runtuhnya faham Mu’tazilah merupakan sesuatu yang mengundang kecurigaan, sehingga orang-orang yang masih mempunyai minat untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat rasional terpaksa harus belajar sendiri-sendiri dan dan bahkan harus tersembunyi’ “di bawah tanah”, karena mereka dipandang telah mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat “subversif” yang akan menggugat kemapanan doktrin Sunni terutama dalam bidang teologi. Lihat, Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Cet. II, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 200), hal. 9.
[7] Syed Amir Ali, Api Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), hal. 464.
[8] Stagnasi yang melanda kesarjanaan Muslim banyak terjadi sejak abad ke 16 hingga abad ke 18 M. kondisi tersebut secara umum merupakan imbas dari kelesuan di bidang politik dan budaya. Masyarakat Muslim pada saat itu senderung hanya mendongak keatas melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan, sehingga mereka lupa dengan kenyataan yang telah terjadi di lapangan. Maka para sarjana Barat mengatakan bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lamapu telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan-tantangan yang dilemparkan oleh Barat. Padahal apabila tantangan tersebut ditanggapi secara dewasa dan positif akan menjadi suatu cemeti bagi kemajuan umat Islam dalam bidang pemikiran dan pada akhirnya stagnasi berfikir di kalangan umat Islam akan segera tercairkan. Lihat, Ismail SM dkk (ed), Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), Hal. 83-84.
[9] Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, mengemukakan bahwa malapetaka terbesar yang telah menimpa umat Islam ialah lenyapnya kaum Mu’tazilah. Sekiranya ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah dijalankan sampai hari ini , kedudukan umat Islam dalam sejarah akan sangat berbeda dengan kedudukan dan kondisi mereka saat ini. Sikap lekas menyerah pada nasip telah membuat mereka lemah. Faham fatalis telah melumpuhkan umat Islam, sedangkan sikap tawakkal telah menjadikan mereka senantiasa dalam keadaan statis. Harun nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. V, (Jakarta, UI Press, 1986), hal. 58.
[10] Hanun Asrohah, Sejarah…, hal. 92- 114.
[11] Hilmy Bakar Almascaty, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, (Universitas Islam Azzahra), hal. 21-22.
[12] Muhammad Abdul Alim Mursi, Westernisasi dalam Pendidikan Islam, Cet. I, Terj. Abdul Majid Khan, (Jakarta, Pikahati Aneska, 1992), hal. 22.

Tidak ada komentar: