Selasa, 28 April 2009

Fase Perkembangan Hubung Kaitnya dengan Pedidikan

FASE-FASE PERKEMBANGAN
DAN HUBUNGANNYA DENGAN BELAJAR

I. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk sosial yang sangat dinamis, tidak tetap dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Ia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana telah disenyalir oleh Al Qur'an melalui firman Nya bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna.[1] Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam diri manusia dipengaruhi oleh adanya unsur kehidupan yang ada dalam dirinya. Perubahan dan perkembangan ini adakalanya merupakan perubahan fisik dan adakalanya perubahan psikis.

Diskusi tentang penyebab perkembangan yang terjadi dalam diri manusia telah menimbulkan kontroversi pemikiran di kalangan para ahli psikologi sehingga melahirkan beberapa teori tentang perkembangan manusia itu sendir. Schopenhauer misalnya, ia mengemukakan dan berpendapat bahwa perkembangan manusia dipengaruhi sepenuhnya oleh factor natives, yaitu factor keturunan yang diwariskan oleh orang tua yang dibawa oleh individu sejak ia dilahirkan. Teori ini dikenal dengan teori nativisme. Menurut teori ini, sejak dilahirkan individu telah membawa sifat-sifat tertentu. Sifat–sifat inilah yang kemudia akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan.[2] Teori memberikan pandangan dan beranggapan bahwa manusia seakan-akan telah ditentukan oleh sifat-sifat sebelumnya, yang tidak dapat diubah, sehingga individu akan sangat tergantung pada sifat-sifat yang telah diturunkan oleh orang tuanya. Bila orang tuanya memiliki kepribadian yang baik, ia akan mewarisi kepribadian yang baik pula seperti yang diturunkan oleh orang tuanya. Sebaliknya jika orang tuanya memiliki kepribadian yang kurang terpuji – untuk tidak mengatakan tercela- maka anak akan mewarisi sifa-sifat yang kurang terpuji yang diturunkan oleh orang tuanya.
Teori nativisme ini suatu konsekuensipandangan bahwa manusia yang dilahirkan oleh orang tua yang memiliki sifat-sifat baik akan tetap baik, meskipun ia dididik oleh lingkungan yang buruk. Sebaliknya, manusia yang dilahirkan oleh orang tua yang memiliki sifat jahat dan tercela akan menjadi jahat pula tanpa dapat diubah oleh kondisi lingkungan dan pendidikan anak, bagaimanapun baiknya lingkungan dan pendidikan yang diberikan kepada anak. Teori ini menimbulkan sikap pesimistis yang m,emandang bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang sia-sia dan tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan manusia.
Bertolak belakang dengan teori nativisme, John Locke mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan teori empirisme. Teori juga dikenal dengan teori tabularasa atau meja lilin. Ia berpendapat bahwa perkembangan manusia sepenuhnya dipengaruhi oleh factor empiri atau pengalaman-pengalaman yang diperoleh oleh individu selama dalam masa perkembangan. Menurut teori ini individu yang dilahirkan ibarat kertas putih ataupun meja putih yang masih kosong yang akan menerima dan bebas untuk ditulis apa saja sesuai dengan kehendak orang yang mau menuliskannya.[3] Akan menjadi apakah individu itu kemudian akan sangat tergantung kepada apa yang akan dituliskan diatasnya. Karena itu, peranan pendidikan dalam hal ini sangat besar. Pendidiklah yang akan sangat menentukan keadaan individu tersebut di kemudian hari. Karenanya dalam lapangan pendidikan, aliran ini melahirkan pandangan yang optimis yang memandang bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang mampu untuk membentuk kepribadian individu.[4]
Berbeda dari teori nativisme dan empirisme, William Stern memiliki kecenderungan untuk menggabungkanteori nativisme dan empirisme. Teori Stern dikenal dengan teori konfergensi, suatu teori yang menganggap perkembangan anak merupakan konvergensi kedua teori tersebut, mengkonvergen teori nativisme dan empirisme. Menurut Stern, baik factor nativ atau pembawaan maupun factor empiri atau pengalaman dan lingkungan, keduanya memiliki perangan yang sangat penting dalam menentukan perkembangan individu.[5] Perkembangan individu akan sangat sangat ditentukan baik oleh factor yang dibawa sejak lahir atau endogen maupun factor lingkungan termasuk pengalaman dan pendidikan atau factor eksogen. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut tentang perkembangan manusia, makalah ini ingin mencoba menfokuskan diri pada tahap-tahap perkembangan manusia dan hubungannya dengan belajar.

II. Perkembangan dan Belajar
a. Teori Perkembangan.
Istilah perkembangan pada dasarnya berbeda dengan pertumbuhan, meskipun ada sebagian penulis mengemukakannya secara bersamaan dan cenderung untuk tidak membedakannya.[6] Dari penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, tidak banyak perbedaan bahkan tidak jauh berbeda definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang pertumbuhan dan perkembangan. Elizabeth B. Hurlock, misalnya, memberikan definisi bahwa istilah perkembangan memberikan pengertian sebagai serangkaian perubahan progressif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti bahwa perkembangan bukan hanya sekedar penambahan tinggi maupun berat badanseseorang ataupun kemampuannya, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.[7]
Kartini Kartono dalam Psikologi Anak mengemukakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan secara kontinu. Kedua proses ini berlangsung secara interdependen. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam bentuk yang murni berdiri sendiri, akan tetapi dapat dibedakan untuk memudahkan memahaminya. Pertumbuhan dan didefinisikan sebagai perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat dalam peredaran waktu tertentu. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai suatu proses transmisi dari konstitusi fisik yang herediterdalam bentuk proses aktif yang kontinu, sementara perkembangan dalam artian yang sempitdapat disebutkan sebagai suatu proses pematangan fungsi-fungsi yang bersifat nonfisik. Disamping itu perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan-perubahan psikho-fisis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikhis dan fisispada diri anak yang ditunjang oleh factor lingkungandan proses belajar dalam rentang waktu tertentu menuju kedewasaan.[8] Dengan demikian perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan psikofisis menuju pematangan yang distimulir oleh factor lingkungan.
Sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Kartini Kartono, Sunarto dan Agung Hartono mengemukakan bahwa pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut perubahan peningkatan ukuran dan struktur biologis. Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematazngan fungsi-fungsi fisikyang berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat dalam perjalanan waktu tertentu. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses transmisi dan konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah) yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Sementara itu perkembangan merupakan suatu proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fingsi kematangan dan interaksi dengan lingkungan. Istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gejala psikologis yang nampak.[9]
Dalam Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Siti Rahayu Hadinoto dkk. mengemukakan bahwa pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Ia menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap. Perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pemaswakan dan belajar. Terjadilah suatu organisasi atau struktur yang lebih tinggi.[10]
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, yang sebenarnya masih banyak pendapat para ahli yang lain yang tidak mungkin dituangkan seluruhnya dalam tulisan singkat ini, meskipun definisi tersebut tidak jauh berbeda bahkan pada prinsipnya menurut penulis cenderung sama, penulis mencoba memberikan konklusi berupa gambaran yang jelas tentang pengertian pertumbuhan dan perkembangan.
Pada hakekatnya pertumbuhan merupakan pertambahan dalam bentuk ukuran-ukuran badan dan fungsi-fungsi biologis ataupun fisiologis. Hal ini dapat diamati melalui bertambahnya tinggi dan berat badan, bertambah besarnya ukuran pergelangan tangan, kaki, maupun ukuran pinggang. Sementara perkembangan adalah proses perubahan dalam suatu pertumbuhan sebagai akibat dari kematanganyang bersifat psikologis sehingga mencerminkan gejala-gejala yang khas dan dapat diamati melalui perubahan sikap.
Suatu perkembangan pasti terjadi melalui proses tertentu. Mengutip penjelasan Agus Sujanto, yang menjelaskan tentang teori perkembangan dalam bukunya Psikologi Perkembangan.[11] Ia mengemukakan bahwa ada beberapa teori tentang proses perkembangan, diantaranya adalah teori Herbart yang berpendapat bahwa terjadinya perkembangan adalah oleh karena adanya unsur-unsur yang berasosiasi sehingga sesuatu yang semula bersifat simple semakin lama menjadi semakin rumit dan kompleks. Anggapan ini menurut Herbart adalah karena anak yang baru lahir keadaan jiwanya masih bersih. Selanjutnya ia menerima stimulus dari luar dirinya sebagai akibat dari penginderaan. Hal ini memberikan konsekuensi pemberian tanggapan. Pemberian tanggapan ini berasosiasi di dalam jiwa yang semakin lama semakin kompleks. Itulah hakekat perkembangan menurut persepsi Herbart.
Berbeda dengan teori Herbart, teori yang muncul selanjutnya adalah teori Gestalt yang berpendapat bahwa teori perkembangan bukanlah berlangsung dari sesuatu yang simple kepada sesuatu yang rumit dan kompleks, melainkan berlangsung dari sesuatun dari yang bersifat global (menyeluruh tetapi samar-samar) yang kemudian semakin lama semakin jelas, tampak bagian-bagian dari keseluruhan itu. Demikianlah teori perkembangandalam perspektif Gestalt.[12]
Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli tersebut , penulis ingin memberikan suatu gambaran asumsi penulis tentang perkembangan. Menurut penulis, perkembangan pada hakekatnya adalah perubahan. Kalaupun menurut teori Herbart bahwa proses berkembangan itu berlangsung dari suatu yang simple lalu kemudian iaa berasosiasi menjadi suatu hal yang rumit dan kompleks, ataupun menurut teori Gestalt bahwa proses perkembangan berlangsung dari sesuatu yang global dan samar-samar lalum kemudian menjadi semakin jelas, inti dari kedua proses tersebut pada hakekatnya adalah perubahan, dan perubahan itu sendiri adalah perkembangan, terlepas proses manakah yang paling dominanyang memberikan pengaruh pada perkembangan.

b. Teori Belajar
Belajar merupakan sebuah kata yang sangat akrab di pendengaran dan tidak asing lagi.kata ini sering di dengar dan diucapkan. Jika anda sedang membaca atau menulis, lalu ada seseorang yang bertanya tentang apa yang yang sedang anda lakukan, maka dengan serta merta anda tentu akan menjawab bahwa anda sedang belajar. Meskipun demikian penulis merasa memandang perlu untuk memberikan gambaran tentang pengertian belajar sekedar untuk menyamakan persepsi tentang istilah belajar, walaupun para ahli pendidikan sendiri berbeda pendapat tentang konsep belajar.
Mengutip istilah yang dikemukakan oleh Slameto dalam bukunya, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi maupun berhubungan dengan lingkungannya.[13]
Syaiful Bahri Djamarah dalam Psikologi Belajar memberikan deskripsi belajar bahwa ia merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsure, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. tentu saja perubahan yang didapatkan dari proses belajar itu bukanlah perubahan fisik, akan tetapi perubahan psikis yang disebabkan oleh masuknya kesan-kesan yang baru. Dengan demikian, perubahan fisik akibat sengatan serangga, patah tangan, patah kaki, buta mata, tuli telinga dan lain sebagainya bukanlah termasuk proses belajar. Oleh karenanya, perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.[14]
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa belajar adalah suatu rangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh karena itu seseorang yang telah melakukan aktifitas belajar pada akhirnya akan mengalami perubahan dalam dirinya dengan pemilikan pengalaman yang baru.
Meskipun demikian perlu juga digarisbawahi bahwa perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses dari belajar adalah perubahan yang bersentuhan dengan aspek kejiwaan dan mempengaruhi tingkah laku. Sementara perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh karena mabuk meminum minuman keras, akibat gila, tabrakan dan sebagainya bukanlah merupakan kategori belajar. Dengan demikian, pada hakekatnya dapatlah disimpulkan bahwa hakekat belajar adalah perubahan, akan tetapi tidak semua perubahan itu merupakan hasil dari proses belajar.
Belajar memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikannya berbeda dari yang lain. Jika hakekat belajar adalah perubahan tingkah laku, maka beberapa perubahan tertentu digolongkan kedalam cirri-ciri belajar, diantaranya yaitu; perubahan yang terjadi secara sadar, artinya individu yang telah belajar akan menyadari dan merasakan adanya suatu perubahandalam dirinya, misalnya individu menyadari bertambahnya pengetahuan dalam dirinya, kemahiran dan keterampilannya bertambah dan sebagainya.
Perubaahan sebagai ciri belajar yang selanjutnya ialah bahwa perubahan dalam belajar bersifat fungsional, artinya sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu sebagai hasil dari proses belajar berlangsung secara terus menerus dan tidak statis. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Selanjutnya perubahan yang terjadi sebagai akibat dari belajar bahwa pewrubahan tersebut bersifat positif dan aktif, artinya perubahan-perubahan itu selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Kemudian perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses belajar bukanlah bersifat sementara, insidental, bertujuan dan terarah serta perubahan tersebut mencakup seluruh aspek tingkah laku.[15]
Itulah karakteristik perubahan yang diakibatkan oleh adanya proses belajar yang menyebabkannya berbeda dari perubahan yang diakibatkan oleh proses lain selain belajar, baik itu perubahan sebagai akibat dari kecelakaan maupun perubahan yang diakibatkan oleh karena penyakit yang diderita oleh seseorang atau juga perubahan yang terjadi pada seseorang pasca sebuah kecelakaan yang dialaminya. Karenanya, setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan, namun bukan semua perubahan merupakan hasil dari proses belajar.

III. Fase-fase Perkembangan dan Hubungannya dengan Belajar.
Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang fase-fase perkembangan .Pembagian fase-fase perkembangan ke dalam masa perkembangan hanyalah untuk memudahkan kita mempelajari dan memahami jiwa anak.Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi kedalam masa perkembangan, namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat dipahami dalam hubungan secara keseluruhan. Setiap peristiwa pertumbuhan ataupun perkembangan selalu didukung dan dipengaruhi oleh faktor-faktor luar yang dalam hal ini berlaku teori konvergersi. Para ahli membagi masa perkembangan itu kedalam fase sesuai dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda.
Aristoteles misalnya, membagi masa perkembangan, dalam tiga fase yaitu; periode anak kecil usia sampai tujuh tahun, periode anak sekolah usia tujuh sampai empat belas tahun, dan periode pubertas atau remaja empat belas sampai dua puluh satu tahun.Sementara itu Comenius membagi masa perkembangan menjadi empat fase, fase pertama disebut dengan masa sekolah ibu sampai usia enam tahun, fase kedua disebut dengan masa sekolah bahasa ibu usia enam sampai dua belas tahun, fase ketiga disebut dengan masa sekolah bahasa latin yaitu umur dua belas sampai dengan delapan belas tahun dan fase terakhir disebut dengan masa sekolah tinggi yaitu usia delapan belas sampai dua puluh empat tahun.
Charlotte Buhler, seorang ahli psikologi membagi masa perkembangan kedalam lima fase, yaitu:

1. masa pertama, usia sampai 1 tahun. Pada masa ini anak berlatih mengenal dunia lingkungan dengan berbagai macam gerakan. Pada waktu lahirnya ia mengalami dunia tersendiri yang tidak ada hubungannya dengan lingkungannya. Perangsang-perangsang hanya sebagian kecil yang dapat disambutnya, sebagian besar lainnya masih ditolaknya. Pada masi ini ada dua hal yang sangat penting dari proses belajar yaitu belajar berjalan dan berbicara.
2. masa kedua, usia 2 sampai 4 tahun. Keadaan dunia luar pada masa ini makin dikuasai dan dikenalnya melalui bermain, kemajuan bahasa dan pertumbuhan kemampuannya. Dunia luar dilihat dan dinilainya menurut keadaan dan sifat batinnya. Semua binatang dan benda mati disamakan dengan dirinya.
3. masa ketiga, usia 5 sampai 8 tahun. Keinginan bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaaan semakin tinggi demikian pula rasa sosialnya juga semakin tinggi. Pandangan terhadap dunia sekelilingnya ditinjau dan diterima secara objektif.
4. masa keempat, usia 9 sampai 13 tahun. Keinginan maju dan memahami kenyataan mencapai puncaknya.pertumbuhan jasmani sangat subur pada usia 10 sampai 12 tahun. Kejiwaannya tampak tenang, seakan-akan ia bersiap-siap untuk menghadapi perubahan yang akan datang. Ketika anak perempuan berusia 12 sampai 13 tahun, anak laki-laki berusia 13 sampai 14 tahun, mereka mengalami masa krisis dalam proses perkembangannya. Pada masa ini mulai9 timbul kritik terhadap diri sendiri, kesadaran akan kemauan, penuh pertimbangan, mengutamakan tenaga sendiri, disertai dengan berbagai pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya.
5. masa kelima, usia 14 sampai 19 tahun. Pada masa awal pubertas, anak kelihatan lebih subjektif. Kemampuan dan kesadaran dirinya terus meningkat. Hal ini mempengaruhi sifat-sifat dan tingkah lakunya. Anak di masa pubernya selalu merasa gelisah akrena mereka sedang mengalami perasaan ingin memberontak, gemar mengkritik, suka menentang dan sebagainya. Pada masa sekitar usia 17 tahun anak akan mulai mencapai keseimbangan antara dirinya dengan pengaruh dunia lingkungannya. Mereka membentuk pribadi, menerima norma-norma budaya sebagai pertanda bahwa anak akan memasuki masa kematangan.[16]
Pada bagian yang lain , Jean Piaget membagi fase perkembangan yang dilalui anak kedalam empat fase atu tahap berikut, yaitu;
1. tahap sensori motor (usia 0-2 tahun). Pada tahap ini individu memperoleh pengetahuan dan perkembangan intelektual melalui reflek-reflek untuk mengetahui dunianya. Dengan cara itu individu bisa memperoleh dan mencapai kemampuannya dalam mempersepsi ketetapan objek.misalnya orang tua memperlihatkan suatu tanda kepada anaknya dengan bercanda agar anak tidak lagi menangis.
2. tahap pra operasional atau intuitif (usia 2 - 7 tahun). Dalam fase ini individu mendapatkan pengetahuan dan perkembangan intelektual melalui penggunaan simbol-simbol dan penyusunan tanggapan internal yaitu dengan mencoba memicu gerakan-gerakan anak lewat emosi atau perasaan, seperti dengan memberi mainan, bercakap-cakap dengan bahasa anak dan mencontohkan perilaku yang baik pada anak (peniruan).
3. tahan konkrit operasional (usia 7-11 tahun). Tahap ini individu memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pikiran secara sistematik terhadap hal-hal atau objek yang konkrit. Misalnya anak melihat api lalu ia memikirkan dan mulai menggunakan akal untuk membedakan bahwa api itu panas atau dingin dan sebagainya.
4. tahap formal operasional (usia 11 tahun ke atas). Pada fase ini individu mendapatkan pengetahuan dengan cara berfikir dan menganalisa yang bersifat abstrak dan hipotesis. Sebagai contoh anak yang melihat telur ayam yang menetas lalu mati akan berfikir kenapa anak ayam itu mati dan sebagainya.[17]

Demikianlah sebagian teori perkembangan yang dapat penulis kemukakan dalam makalah singkat ini, meskipun masih banyak pendapat para ahli yang membicarakan tentang teori perkembangan, seperti Ahmad Tafsir yang berbicara tentang perkembangan anak dalam belajar yang terangkum dalam Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam,[18] namun dengan segala keterbatasan, makalah ini tidak akan dapat mengcover ide-ide tersebut.
Apabila kita melihat teori-teori perkembangan di atas kiat dapat memberikan suatu asumsi – khususnya dalam perspektif penulis- bahwa dalam perspektif ilmu pendidikan Islam, benarlah Nabi yang menyuruh agar orang tua menyuruh anaknya untuk menunaikan shalat pada usia 7 tahun. Artinya Nabi menyuruh para orang tua untuk mengajarkan kepada anaknya yang masih dalam masa perkembangan agar dapat membentuk kepribadian mereka, sebelum anak dipengaruhi oleh factor-faktor luar yang akan “ membahayakan” moral dan menjerumuskan kehidupan anak.
Daftar Pustaka

Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998).
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Cet. VII, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996).

Safwan Amin, Pengantar Psikologi Pendidikan, Cet. I, (Banda Aceh, Yayasan Pena, 2003).

Ahmad Tafsir, Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995).

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Edisi V, (Jakarta, Erlangga, 1980).

Kartini Kartono, Psikologi Anak, (Bandung, Alumni, 1979).

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. IV, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996).

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1991).

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002).

Siti Rahayu Haditono dkk, Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet. XII, (Yogyakarta, Gadjah Mada University, 1999).

Sunarto dan Agung Hartono, Perkembaangan Peserta Didik, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999).

Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Cet. IX, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002).
[1] Kesempurnaan bentuk dalam penciptaan manusia ini telah termaktub dalam surat al Tin ayat 4, yang artinya sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, lalu kami kembalikan mereka pada posisi yang paling hina , kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Di sisi yang lain allah SWT memberikan gambaran tentang kesempurnaan manusia karena mereka dikaruniai hati, mata dan juga telinga. Akan tetapi Allah juga memberikan peringatan kepada manusia bahwa mereka akan dihinakan lebih hina dan rendah derajatnya dari binatang ternak jika saja manusia tidak menggunakan potensi yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Mereka dikaruniai hati, akan tertapi mereka tidak menggunakan hatinya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah, diberikan telinga, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah dan seruan untuk menuju ke jalan Nya dan mereka dikaruniai mata, akan tetapi justru mata tersebut mereka gunakan untuk melakukan kemaksiatan dan bukan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Ketika manusia dalam kondisi demikian, maka mereka tidak lagi berada dalam posisi sebagai makhluk yang paling mulia karena sempurnanya penciptaan mereka, akan tetapi justru mereka berada dalam posisi yang rendah, lebih rendah dari binatang ternak yang tidak dikarunia akal dan fikiran. Lihat, al Qur’an surat al A’raf: 178. Pada bagian yang lain Allah SWT memberikan gambaran melalui FirmanNya yang mengungkapkan bahwa sungguh Kami telah memuliakan Bani Adam dan Kami tempatkan mereka di darat dan di laut, lalu Kami berikan rizki kepada mereka dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari makhluk ciptaan Kami yang lain.
[2]Lihat, Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998), hal. 195-196.
[3]Dalam perspektif Ilmu Pendidikan Islam ada kedekatan antara pengertian konsep ini dengan teori fitrah. Dalam perspektif pendidikan Islam, setiap manusia yang dilahirkan dalam fitrah. Hal ini sebagaimana tersurat dalam sebuah hadith Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya saja orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Majusi ataupun Nashrani. Namun yang membedakan konsep fitrah dengan teori tabularasa ialah bahwa teori tabularasa menganggap bahwa anak yang dilahirkan ibarat kertas putih yang tidak berisi apapun, sementara konsep fitrah memandang bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi dasar tauhid. Lihat, M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. IV, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), hal. 88-103.
[4] Abu Ahmadi, Psikologi..., hal. 196-197.
[5] Ibid, hal. 197-198.
[6] Sunarto dan Agung Hartono dalam, Perkembangan Peserta Didik mengemukakan bahwa dalam banyak buku, makna pertumbuhan sering diartikan sama dengan perkembangan, sehingga penggunaan kedua istilah tersebut sering kali dipertukarkan untuk makna yang sama. Ada penulis yang suka menggunakan istilah pertumbuhan saja dan ada yang menggunakan istilah perkembangan saja. Lihat, Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999), Hal. 17-18.
[7] Elizabith B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Edisi V, (Jakarta, Erlangga, 1980), hal.2.
[8] Kartini Kartono, Psikhologi Anak, (Bandung, Alumni, 1979), hal. 29-33.
[9] Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan..., Hal. 34-39.
[10] Siti Rahayun Haditono dkk, Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet. XII, ( Yogyakarta, Gadjah Mada University, 1999), hal. 1-3.
[11] Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Cet. VII, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), Hal. 234-238.
[12] Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, masih ada teori lain yang juga membahas tentang teori perkembangan, seperti teori sosialisasi yang dikemukakan oleh James Mark Baldwin maupun teori Freudism yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, lihat, Ibid, hal. 236-238.
[13] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. II, (Jakarta, Rineka Cipta, 1991), hal.
[14] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belaja, Cet. I, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002), hal. 12-13.
[15] Ibid, hal. 14-16.
[16] Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Cet. IX, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 18-20.
[17] Safwan Amin, Pengantar Psikologi Pendidikan, Cet. I, (Banda Aceh, Yayasan Pena, 2003), hal. 21-22.
[18] Ahmad Tafsir, Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995), hal. 126-128.

Tidak ada komentar: