Rabu, 22 April 2009

Sej. Perkembangan Hadits

Sejarah Perkembangan Hadits dan cabang-cabangnya (1)


1. Sejarah perkembangan dan cabang-cabang ilmu hadits

Pada masa kenabian, ilmu hadits telah muncul lewat kegiatan nabi dan para sahabatnya. Mereka dalam kegiatan transformasi hadits melakukannya dengan teliti dan hati-hati dengan cara memperhatikan sanad dan matan, lebih-lebih ketika mereka mempunyai keragu-raguan tentang transformator. Fenomena tersebut dilanjutkan oleh tabi’in dan para pengikut tabi’in yang pada masa ini telah muncul apa yang diungkapkan oleh ibnu sirin yang tertera dalam muqaddimah shahih Muslim “mereka tidak menanyakan isnad, maka ketika timbul fitnah mereka berkata: sebutkan pada kami tokoh-tokoh kalian, bila mereka ahli sunah maka mereka mengambil haditsnya dan bila melihat ahli bid’ah maka mereka tidak mengambil hadits ahli bid’ah tersebut”.

Sebagaimana yang ditetapkan oleh disiplin ilmu hadits bawa hadits tidak akan diterima kecuali setelah sanad di ketahui, maka muncul beberapa ilmu :

=> ilmu al-jarh wa ta’dil; ilmu yang membahas tentah hal ihwal keadilan dan tidakadilnya para periwayat. Dari para sahabat yang banyak mengkaji ilmu ini adalah seperti Ibnu Abbas, w. 68 H, Ubadah bin Shamit, w. 34 H, dan dari tabi’in seperti al-Sya’bi w.104 H.

Akan tetapi mula-mula penulisan tentang karya ilmu ini ketika masuk abad ketiga hijriyah sebagaimana dilakukan oleh Yahya ibnu Muin, w 233 H. Ahmad bin Hambal w. 241 H, al-Bukhari w. 256 H, Muslim w. 261 H, Abu Dawud w. 275 H, al-Nasa’i w. 303 H.

=> ilmu Ma’rifat al-shahabah; yaitu ilmu yang bisa mengetahui hadits mutashil dan mursal seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Ahmad bin Abdullah bin Abdur Rahim bin Said Ibnu al-Barqi, w. 270 H, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Isa al-marwazi al-Syafi’i, w. 293 H.

=> ilmu sejarah periwayat, yaitu ilmu untuk mengetahui sejarah para periwayat hadits dan hal ihwalny. Demikian seperti kitab al-Tarikh al-Kabir karya al-Bukhari.

=> Ilmu Ma’rifat al-Asma’ wa al-Kuna wa al-Alqab; yaitu yang untuk mengetahui nama, kuniah, dan laqab para periwayat seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim, al-Nasa’i, dan Ahmad bin Hambal.

=> ilmu muhtalaf al-hadits; yaitu penyelarasan antara hadits yang dhahirnya bertentangan. Orang pertama yang berbicara tentang ilmu ini adalah Imam As-Syafi’i.

=> ilmu ma’rifat gharib al-hadits; ilmu yang menjelaskan makna-makna sebagian kalimat yang tidak jelas yang dilakukan oleh Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna al-Tamimi, w. 210 H dan Abu Ubaid al-Qosim Ibnu salam, w. 224 H.

=> ilmu ma’rifat ilal al-hadits; illat adalah ibarat tentang sebab yang tidak jelas dan merusak keabsahan hadits. Kadangkala illat ini dimaksudkan dengan makna yang tidak sesuai dengan terminologinya seperti masalah dusta periwayat, kelalaian dan hafalan yang tidak baik dari periwayat. Ahli hadits yang mengkaji masalah ini diantaranya Imam bin Hambal, al-Bukhari, Muslim dan al-Tarmidzi.

=> al-Masyikhat; yaitu mencakup para syaikh yang ditemui oleh pengarang kitab yang mana beliau telah mengambil dari mereka dan memberi ijazah kepadanya meski dia tidak bertemu mereka, sebagaimana karya Abi Yusuf Ya’kub bin Sufyan Ibnu Hibban, w.277 H.

=> al-Thabaqat; ilmu yang mencakup tentang para syaikh, hal-ihwalnya dan periwatannya dari masa ke masa hingga masa pengarang kitab seperti “Thabaqat al-Ruwat” karya Abu Amr Khalifah bin Khayyath, w. 230 H.

Pada dasarnya ilmu hadits itu mencakup berbagai macam cabang ilmu yang mencapai seratus macam dan tiap satu macam mempunyai disiplin ilmu yang independen. Oleh karena itu, apabila seorang pengkaji menghabiskan usianya niscaya tidak akan menggapai akhirnya.

Kitab-kitab tersebut pada umumnya dibuat pada abad ketiga hijriyah, yaitu masa atau zaman keemasan hadits wa ulumuhu yang kdmudian ketika sampai pada abad keempat hijriyah telah mencapai kedewasaan dan menjadi ilmu yang independen dengan sebutan ilmu al-hadits dirayatan, ulum al-hadits, ushul al-hadits atau musthalah al-hadits. Orang pertama yang menulis ilmu ini adalah al-Qodli al-Hasan bin Abdur Rohman bin Khallad al-Ramaharmuzi dalam kitabnya al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i

Kajian para ahli hadits dan metodologinya telah mencapai puncak pemikiran. Sejarah telah mencatat hal tersebut sebagai prinsip keilmuan dalam periwayatan dan pemberitaan. Seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqh dll, ilmu hadits telah mengkristal dan menjadi sebuah konsep yang kemudian menjadi dua ilmu mendasar yaitu ilmu hadits riwayatan dan ilmu hadits dirayatan.


2. Pengertian dan Kitab-kitab Hadits yang Terkenal.

a. Pengertian Ilmu al-Hadits Riwayatan.

* Ilmu al-Hadits Riwayatan yaitu ilmu yang mencakup transformasi segala apa yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa ungkapan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-ihwalnya.

* Obyek kajiannya meliputi segala ungkapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifatnya dari sisi tranformasi dan penetapannya secara pasti dan detail.

* Faidah dan manfaatny yaitu melestarikan sunnah Nabi saw dan menjaganya dari segala kesalahan dalam transformasi segala apa yang disandarkan pada Nabi saw.

* Kedudukannya termasuk ilmu yang paling agung dan mulia, dimana dengan ilmu ini kita bisa mengetahui segala ungkapan, perbuatan, ketetapan dan hal-ihwal Nabi saw.

* Orang pertama yang mengkodifikasi ilmu ini adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidah bin Abdullah bin Syihab al-Zuhri. Nama kuniahnya adalah Abu Bakar al-Faqih al-Hafidz yang merupakan orang yang disepakati akan kewibawaan dan ketelitiannya. Beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri dan meninggal tahun 124/125 H. Kodifikasi secara resmi atas perintah Amir al-Mukminin Umar bin Abdul Azis.

* Tujuan ilmu ini yaitu selamat serta bahagia di dunia dan akherat yang mana hal ini menjadi nyata dengan cara mengetahui dan mengamalkan segala apa yang telah dibawa oleh Nabi saw.

* Hukum mengkaji ilmu hadits riwayatan adalah wajib kifa’i, artinya bila sebagian orang telah mempelajari ilmu tersebut dan cukup untuk menutup kebutuhan, maka gugurlah kewajiban bagi orang-orang lain. Adapun bila orang yang belajar ilmu ini untuk memenuhi kebutuhan tidak ada yang lain kecuali dirinya, maka mempelajari ilmu ini bagi orang tersebut adalah wajib ‘aini.

b. Pengertian Ilmu al-Hadits Diroyatan.

* Ilmu al-Hadits Dirayatan adalah ilmu dengan segala kaidah-kaidahnya untuk mengetahui keadaan sanad, matan, dari segi diterima maupun di tolaknya sebuah hadits.

Imam Ibnu Hajar mendefinisikan Ilmu ini dengan kaidah-kaidah yang bisa mengetahui keadaan Rawi dan Marwi (periwayat dan yang diriwayatkan).

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ilmu hadits dirayatan yaitu ibarat dari skumpulan kaidah-kaidah yang bisa mengetahui keadaan periwayat dari segi jahr wa ta’dil, keadaaan yang diriwayatkan baik hadits maupun atsar dari segi sampai atau terputusnya sanad, mengetahui kelemahan-kelemahan hadits dan segala apa yang ada kaitannya dengan ditolak maupun diterimanya sebuah hadits.

* Obyek ilmu ini yaitu sanad dan matan dari segi diterima maupun ditolak.

* Faedahnya adalah membedakan shahih dan dha’if dari sebuah hadits.

* Kedudukannya merupakan ilmu yang paling mulia dimana ilmu ini bisa digunakan untuk membedakan antara hadits yang diterima dan ditolak.

* Orang pertama yang mengkodifikasi ilmu ini adalah al-Qodli al-Hasan bin Abdur Rahman bin Khallad al-Ramaharmuzi dengan mengarang kitab al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-wa’i.

Kompetensi guru

Empat Kompetensi yang Harus Dimiliki Guru

PASAL 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara tegas dinyatakan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai agen pembelajaran. Keempat kompetensi itu adalah kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi professional dan kompetensi social.

Dalam Panduan Sertifikasi Guru bagi LPTK Tahun 2006 yang dikeluarkan Direktur Ketenagaan Dirjen Dikti Depdiknas disebutkan bahwa kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja.

Kepmendiknas No. 045/U/2002 menyebutkan kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Jadi kompetensi guru dapat dimaknai sebagai kebulatan penetehuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran.

Kompetensi pedagogic adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Di sini ada empat subkompetensi yang harus diperhatikan guru yakni memahami peserta didik, merancang dan merancang pembalajaran, melaksanakana evaluasi dan mengembangkan peserta didik. Memahami peserta didik mencakup perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor dan mengetahui bekal awal peserta didik.

Sementara itu, merancang pembelajaran dimaksudkan bahwa guru harus mampu membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kemudian bisa mengaplikasikan rancangan itu di dalam proses pembelajaran sesuai alokasi waktu yang sudah ditetapkan. Di samping itu, guru mesti memiliki kemampuan melakukan evaluasi baik dalam bentuk “on going evaluation” maupun di akhir pembelajaran. Sementara itu, mengembangkan peserta didik bermakna bahwa guru mampu memfasilitiasi peserta didik di dalam mengembangkan potensi akademik dan non akademik yang dimilikinya.

Yang dimaksud dengan komptensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Subkompetensi mantap dan stabil memiliki indicator esensial yakni bertindak sesuai dengan hokum, bertindak sesuai dengan norma social, bangga menjadi guru dan memiliki konsistensi dalam bertindak dan bertutur.

Guru yang dewasa akan menampilkan kemandirian dalam bertindak dam memiliki etos kerja yang tinggi. Sementara itu, guru yang arif akan mampu melihat manfaat pembelajaran bagi peserta didik, sekolah dan masyarakat, menunjukkan sikap terbuka dalam berfkir dan bertindak. Berwibawa mengandung makna bahwa guru memiliki prilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan perilaku yang disegani.

Yang paling utama dalam kepribadian guru adalah berakhlak mulia. Ia dapat menjadi teladan dan bertindak sesuai normaagama (iman, dan taqwa, jujur, ikhlas dan suka menolong serta memilki perilaku yang dapat dicontoh.

Kompetensi professional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Guru harus memahami dan menguasai materi ajar yang ada dalam kurikulum, memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang yang koheren dengan materi ajar, memahami hubungan konsep atarmata pelajaran terkait dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, guru juga harus menguasai langkah-langkah penelitian, dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan dan meteri bidang studi.

Kompetensi social merupakan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kepentidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Guru tidak bisa bekerja sendiri tanpa memperhatikan lingkungannya. Ia harus sadar sebagai bagian tak terpisahkan bagi dari masyarakat akademik tempat dia mengajar maupun dengan masyarakat di luar.

Ia harus memiliki kepekaan lingkungan dan secara terus menerus berdiskusi dengan teman sejawat dalam memecahkan persoalan pendidikan. Guru yang jalan sendiri diyakini tidak akan berhasil, apalagi jikalau dia menjaga jarak dengan peserta didik. Dia harus sadar bahwa inteaksi guru dengan siswa mesti terus dihidupkan agar tercipta suasana belajar yang hangat dan harmonis.

Keempat kompetensi di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Masing-masingnya bukanlah hal yang berdiri sendiri-sendiri. Justru itu, antara kompetensi pedagogic, kepribadian, professional dan social akan saling menunjang dan bisa tampak secara utuh dalam proses pembelajaran di dalam kelas dan pergaulan di luar kelas.

Di dalam pelaksanaan proses sertifikasi kompetensi ini akan menjadi penilaian dan tolok ukur keberhasilan seorang guru. Artinya, hanya guru yang kompeten dan terampillah yang akan lolos dalam sertifikasi. Justru itu, kalau guru ingin mendapat sertifikat pendidik, ia harus bekerja keras baik di dalam menyiapkan materi ajar maupun dalam proses pembelajaran itu sendiri. Ia pun harus mampu menampilkan sosok pendidik yang disegani dan diteladani serta menjadi pemuka di dalam masyarakat.

Hakikat Manusia

Hakikat Manusia dan Pengembangannya




I.Kata Pengantar



Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksut membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusianya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.

Manusia memiliki ciri-ciri khas yang secara prinsipil berbeda dengan hewan. Ciri khas manusia yang membedakan dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut sifat dan hakikat manusia. Disebut sifat dan hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan.

Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia manusia akan membentuk peta tentang karektasistik manusia.peta ini akan menjadi landasan serta memberikan acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi , metode, dan teknik, serta memilih orentasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi trnsaksional di dalam interaksi edukatif.

Gambaran tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah pendidik karena adanya pengembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini. Lebih-lebih pada masa mendatang. Memang banyak manfaat yang dapat diraih bagi kehidupan manusia darinya. Namun, disisi lain tidak dapat dielakkan akan adanya dampak negatif, yang terkandang tanpa disadari sangat merugikan bahkan mengancam keutuhan eksentasi manusia.







II. Permasalahan

1.Apakah sifat hakikat manusia

2.Bagaimanakah dimensi-dimensi hakikat manusia serta potensi, keunikan, dan dinamikanya.

3.Bagaimanakah pengembangan dimensi hakikat manusia.

4. Kapankah dikatakan sosok manusia Indonesia seutuhnya.

III. Pembahasan



1.Sifat hakikat manusia



Sifat hakikat bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Sifat hakikat juga bersifat normative karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan.

Sifat dan hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan.Wujud sifat hakikat manusia yang tidak dimi

liki oleh hewan yaitu:

a. Kemampuan Menyadari Diri

Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh mannusia bahwa dirinya memiliki ciri karakteristik. Yang lebih istimewa ialah manusia dikarunai kemampuan untuk membuat jarak diri dengan akunya sendiri.sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa, yang menepatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki untuk menyempurnakan diri.

b. Kemampuan Bereksistensi

Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menempatkan diri dan menerobos bukan bukan saja berkaitan dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu.Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat ruang.Hal ini perlu dibina melalui pendidikan diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan, dari sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu.

c. Kata Hati

Kata hati menunjukkan kemampuan pada diri manusia yang memberi penerang tentang baik buruknya perbuatan sebagai manusia.Kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati. Realitasnya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosional.

d. Moral

Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik . Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam disebut moral yang buruk.Seseorang dikata bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.

e. Tanggung Jawab

Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu sesuai dengan tuntutan kotrat manusia, bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sangsi apapun ditututkan di terima penuh kesadaran dan kerelaan.

f. Rasa Kebebasan

Rasa kebebasan di sini adalah merdeka , artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangaan dengan tuntutan kotrat manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menyiwai segenap perbuatannya.

g. Kewajiban dan Hak

Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manisfestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak yang lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.

h. Kemampuan Menghayati kebahagian

Kebahagiaan adalah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaan diri secara faktual tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semua itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian tiga hal yaitu: usaha.norma-norma, dan takdir.

2. Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia Serta Potensi, Keunikan,dan Dimanika

Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas, yaitu:

1. Dimensi Keindividualan

2. Dimensi kesosialan

3. Dimensi Kesusilan

4. Dimensi Keberagamaan

1. Dimensi keindividual

Kesanggupan untuk memikul tanggungjawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. Setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, miskipun disisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memelurkan pihak yang lain ( Pendidik ) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk dapat memberi perlindungan dan bimbingan.

2. Dimensi Kesosialan

Setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya didalamnya tergandung unsur saling memberi dan menerima.Adanya kesediaan untuk saling memberi dan merima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan. Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setip orang ingin bertemu dengan sesama.

3. Dimensi Kesusilaan

Dimensi kesusilaan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk menambil keputusan susila, serta melaksakanya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan.

4.Dimensi Keberagamaan

Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya.Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini.Manusia memelurkan pendidikan agama untuk keselamatan kehidupannya

3.Pengembangan Demensi Hakikat manusia

Manusia lahir telah dikarunia dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujut potensi, belum teraktualisasi menjadi wujut kenyataan .Dari kondisi ”potensi” menjadi wujut aktualisasa terdapat rentangan proses yang mengandung pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Pengembangan demensi hakikat manusia dibagi menjadi dua bagian:

1. Pengembangan yang utuh

Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan manusia yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Meskipun da tendensi pandangan pandangan mondern yang lebih cendrung memberi tekanan lebih pada pengaruh faktor lingkungan. Optimenisme ini timbul berkat pengruh perkembangan iptek yang sangat pesat memberikan dampak kepada peningkatan perekayasan pendidikan melalui teknologi pendidikan.

2. Perkembangan yang tidak utuh

Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani. Perkembangan yang tidak utuh berakibatkan terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap.









4. Sosok Manusia Seutuhnya



Sosok manusia seutuhnya bearti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan, kesehatan, ataupun kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah.

Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagaian akhirat.

IV. Pembahasan Penulis

Manusia adalah makhluk yang dapat dipandang dari berbagai sudut pandang. Sejak ratusan tahun sebelum Isa, manusia telah menjadi salah satu objek filsafat, baik objek formal yang mempersoalkan hakikat manusia maupun objek materil yang mempersoalkan manusia sebagai apa adanya manusia dan dengan berbagai kondisinya.Sebagaimana dikenal adanya manusia sebagai makhluk yang berpikir, makhluk yang berbentuk, makhluk yang dapat dididik. Merupakan pandangan-pandangan tentang manusia yang dapat digunakan untuk menetapkan cara pendekatan yang akan dilakukan untuk manusia tersebut.

Berbagai pandangan tersebut membuktikan bahwa manusia adalah makhluk kompleks. Kini bangsa Indonesia telah menganut suatu pandangan, bahwa yang dimaksut manausia secara utuh adalah manusia sebagai pribadi yang merupakan pengejawantahan manunggalnya berbagai ciri manusia yang seimbang antara berbagai segi, yaitu antara segi 1. individu dan sosial, 2. jasmani dan rohani, dan 3. dunia dan akhirat.Keseimbangan hubungan tersebut menggambarkan keseralasan hubungan antara manusia dengan dirinya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam sekitarnya dan manusia dengan Tuhannya.

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan.Kebutuhan tersebut baik pisik maupun mental.Sudah barang tentu manusia berupaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut .

Secara kodrati, manusia memiliki potensi dasar yang secara esensial membedakan manusia dengan hewan, yaitu pikiran, perasaan dan kehendak.Sekalipun demikian, potensi dasar yang dimilikinya itu tidaklah sama bagi masing-masing manusia. Oleh karena itu sikap, minat,kemampuan berpikir, watak, perilakunya, dan hasil belajarnya berbeda-beda antara manusia satu dengan yang lainnya.

Perbedaaan-perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perilaku mereka dirumah maupun disekolah. Gejala yang dapat diamati adalah bahwa mereka menjadi lebih atau kurang dalam bidang tertentu dibandingkan dengan orang lain. Sebagian manusia lebih mampu dalam bidang seni atau bidang ekspresi yang lain, seperti olahraga dan keterampilan, sebagian lagi dapat lebih mampu dalam bidang kognitif atau yang berkaitan dengan illmu pengetahuan.

Menurut Bloom, proses belajar, baik disekolah maupun diluar sekolah, menghasilkan tiga pembentukan kemampuan yang dikenal sebagai taxonomy Bloom, yaitu kemampuan kognitif, efektif, dan psikomotorik. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap orang memiliki persepsi tentang pengamatan atau penyerapan atas suatu objek.Berarti ia menguasai sesuatu yang diketahui, dalam arti pada dirinya terbentuk suatu persepsi, dan pengetahuan itu diorganisasikan secara sistematik untuk menjadi miliknya. Setiap saat, bila diperlukan, pengetahuan yang dimilikinya itu dapat direproduksi. Banyak atau sedikit, tepat atau kurang tepat pengetahuan itu dapat dimiliki dan dapat direproduksi kembali dan ini merupakan tingkat kemampuan kognitif seseorang.

Kemampuan kognitif menggambarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tiap-tiap orang. Pada dasarnya kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Sebagaimana diketahui bahwa hasil belajar merupakan perpaduan antara faktor pembawaan dan pengaruh lingkungan (faktor dasar dan ajar). Faktor dasar yang berpengaruh menonjol pada kemampuan kognitif dapat dibedakan dalam bentuk lingkungan alamiah dan lingkungan yang dibuat. Proses belajar mengajar adalah upaya menciptakan lingkungan yang bernilai positif, diatur dan direncanakan untuk mengembangkan faktor dasar yang telah dimiliki oleh anak. Tingkat kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang di ukur dengan tes hasil belajar.

Inteligensi ( kecerdasan) sangat mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Dikatakan bahwa antara kecerdasan dan nilai kemampuan kognitif bekorelasi tinggi dan positif, semakin nilai kecedardan seseorang semakin tinggi kemampuan kognitifnya.

Kecakapan motorik atau kemampuan psikomotorik merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja saraf motorik yang dilakukan oleh saraf pusat untuk melakukan kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut terjadi karena kerja saraf yang sistematis. Alat indra menerima rangsangan, Rangsangan tersebut diteruskan melalui saraf sensoris ke saraf pusat ( otak) untuk diolah, dan hasilnya dibawa oleh saraf motorik untuk memberikan reaksi dalam bentuk gerekan-gearakan atau kegiatan.

Intelek atau daya pikir berkembang sejalan dengan pertumbuhan saraf otak. Karena pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak, maka kemampuan intelektual yang lazim disebut dengan istilah lain kemampuan berpikir, dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya secara baik. Pertumbahan saraf yang telah matang akan diikuti oleh fungsinya dengan baik, dan oleh karena itu seorang individu juga akan mengalami perkembangan kemampuan berfikirnya, manakala pertumbuhan saraf pusat satu saat atau otaknya telah mencapai matang.Perkembangan tingkat berfikir atau perkembangan intelek akan diawali dengan kemampuan mengenal yaitu untuk mengetahui dunia luar. Reaksi atau respon terhadap rangsangan dari luar awalnya belum berkoordinasi secara baik, hampir semua respon yang diberikan bersifat refleks.

Perkembangan lebih lanjut tentang perkembangan intelek ini ditunjukkan pada perilakunya, yaitu tindakan menolak dan memilih sesuatu. Tindakan itu berarti telah mendapatkan proses mempertimbangkan atau yang lazim dikenal dengan proses analis, evaluasi, sampai dengan kemampuan menarik kesimpulan dan keputusan. Funsi ini terus berkembang mengikuti kekayaan pengetahuan tentang dunian luar dan proses yang dialami.Pada saatnya seorang akan berkemampuan melakukan peramalan perencanaan, dan berbagai kemampuan analisis dan sentesis.

Rasa dan perasaan merupakan salah satu potensi yang khusus dimiliki oleh manusia. Dalam hidupnya dan perkembang manusia, banyak hal yang dibutuhkanya Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan.kebutuhan tersebut baik pisik maupun mental.Sudah barang tentu manusia berupaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.jika kebutuhan itu tidak segera terpenuhi maka seseorang akan kecewa,dan sebaliknya jika kebutuhan-kebutuhan terpenuhi maka ia akan merasa senang.

V. Kesimpulan



 Sifat dan hakikat manusia memberikan makna bahwa sebagai tanda-tanda mendasar, yang dapat dilihat secara nyata membedakan manusia dari hewan.Wujud sifat hakikat manusia yang tidak dimiliki oleh hewan .

 Manusia memiliki potensi untuk mengembangkan diri sebagai dimensi individual, kesosialan, kesusilan, keberagamaan.



 Manusia lahir telah dikarunia dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujut potensi, belum teraktualisasi menjadi wujut kenyataan .Dari kondisi ”potensi” menjadi wujut aktualisasa terdapat rentangan proses yang mengandung pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Pengembangan demensi hakikat manusia dibagi menjadi dua bagian: 1. Secara menyeluruh, 2. Secara tidak menyeluruh.

 Sosok Manusia Seutuhnya diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, , antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagaian akhirat.
Melacak Definisi dan Akar-akar Tasawuf



Menguraikan seputar terma tasawuf dan sufi memang tak semudah membalikkan kedua belah telapak tangan. Apalagi

bila upaya penguraian tersebut harus dituntut dengan ketentuan-ketentuan ilmiah dan rasional. Di samping kendala

tersebut, problematika yang sebenarnya sangat riskan untuk dipecahkan adalah komentar dan hasil perabaan

seseorang yang sama sekali tidak pernah menggeluti atau terjun langsung dalam dunia tasawuf secara aktif dan intensif.

Sehingga kesimpulan yang mereka lontarkan adalah perabaan secara gegabah dan serampangan yang mungkin perlu

dikaji kembali. Sebab mendefinisikan dan menjabarkan sesuatu bukanlah sebuah garapan yang mudah. Apalagi bila

dilanjutkan dengan pemaparan yang keluar dari seorang yang terlihat capable, padahal sebenarnya tidak kompeten dan

tidak menguasai permasalahan tersebut. Sungguh hal seperti ini sebuah perabaan dan hipotesa yang membahayakan.

Oleh sebab itu, meminjam istilah Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar ra.), titik tolak dalam mendefinisikan dan

mendeskripsikan sesuatu merupakan garapan para spesialis bidang tersebut. Dengan kata lain, sebelum mendefinisikan

sesuatu secara jami' mani' (komprehensif), tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu kategori definisi yang definitif

(ta'rif al-ta'rif), sebuah inti pembahasan yang acapkali tidak disentuh sebagian kalangan dalam menjabarkan sebuah

terma tertentu. Akibatnya terma tersebut menjadi kabur dan ambigu; tidak memiliki standar dan batasan yang jelas.

Oleh sebab itu, penulis mencoba menyitir istilah Shahib al-Samahah tentang hal tersebut. Beliau menyebutkan, bahwa

ta'rif al-ta'rif adalah: %(1'2 'DE9FI 'DE3*B1 9F/ #GD 'D%.*5'5 Artinya: Definisi adalah menguak makna sesuatu dengan

tepat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang benar-benar memiliki spesialisasi di bidangnya.

Fenomena yang lumrah dewasa ini adalah keluarnya presepsi seseorang tentang sesuatu yang dipoles seolah-olah

benar (tahqiq), padahal pada dasarnya kesimpulan tersebut baru merupakan hipotesa (dugaan) yang tidak menutup

kemungkinan akan selalu berubah dan bersifat variable (taqrib). Atau bisa jadi persepsi tersebut hanyalah penggiringan

opini yang disertai data-data yang terlihat akurat dan rasional, padahal di balik maklumat tersebut tak jarang ditunggangi

misi dan kepentingan tertentu. Apabila gejala tersebut tidak segera dicarikan solusi (qaul fashl), niscaya maklumatmaklumat

tersebut akan selalu membingungkan dan hanya menawarkan sebuah pilihan yang kelihatan terkotak-kotak

dalam pelbagai standar disiplin ilmu yang terkadang kurang sesuai dengan terma yang dikaji. Atau dengan kata lain

hanya tawaran yang terlihat riil dan membumi, tapi realitanya hanyalah idealisme yang senantiasa melangit dan tidak

dapat dipertanggungjawabkan. Bertitik tolak dari paparan di atas, penulis mencoba menyajikan beberapa definisi

tasawuf dan sufi, yang selama ini penulis jumpai dalam pelbagai refrensi, yang realitanya kurang memuaskan. Sebab

meskipun definisi tersebut men¬dekati ketepatan dari segi kata, namun terasa janggal dan kurang sesuai dengan apa

yang didefinisikan. Hal ini bukan berarti penulis berusaha melakukan tindakan apologetik, defensif dan menafikan pihak

lain. Namun penulis berusaha menghindari sikap seseorang yang hanya meneriakkan secara lantang sebagai pencari

kebenaran, namun malah ingkar dan lari dari sesuatu yang mengarah mendekati kebenaran tersebut. Dalam hal ini,

setidaknya anda dapat mengamati bahwa para pengamat tasawuf dari pelbagai disiplin ilmu dan sudut pandang memiliki

sebuah titik persamaan yang menyimpulkan bahwa tasawuf adalah pengalaman spiritual (al-tajribah al-ruhiyyah),

meskipun dalam pendefinisian kata tasawuf dan sufi baik secara etimologi maupun terminologi, masih banyak

kontroversi yang acapkali terlihat kurang tepat dan janggal. Secara etimologi, penulis ingin mengemukakan beberapa

pendapat yang berusaha mendefinisikan kata sufi.

- Pertama, kata sufi berasal dari bahasa Yunani, Shopia, yang berarti kebijaksanaan. Kedua, golongan yang

berpendapat bahwa kata sufi merupakan penisbatan terhadap seseorang yang menge¬nakan bulu domba / wol (shuf).

Ketiga, kata sufi dinisbatkan kepada ahl al-shuffah (santri-santri di pesantren Rasul saw.), dan masih banyak lagi definisi

yang mungkin dapat digali dalam pelbagai literatur tasawuf, baik klasik maupun kontemporer. Tapi dengan ketiga definisi

tersebut, penulis mencoba untuk mendekatinya dengan pendekatan rasional.

- Pertama, apakah memang kata sufi berasal dari bahasa Yunani? benarkah pondasi nilai-nilai tasawuf merupakan

plagiat peradaban Yunani kuno? Padahal kalau kita mau mengkaji secara jeli dan teliti kata-kata sufi secara tersirat dan

tersurat banyak termaktub di dalam al-Qur`an. Jika demikian halnya, apakah memang al-Qur`an banyak memplagiat

peradaban Yunani kuno?

- Kedua, tatkala sufi dinisbatkan kepada seseorang yang memakai wol, berarti bukankah domba lebih sufi dari seorang

sufi?

- Ketiga, apabila sufi merupakan penisbatan terhadap santri-santri Rasul saw. (ahl al-shuffah) yang berdiam diri di pojokpojok

masjid, lantas haruskah sufi kontemporer berperilaku layaknya mereka? Tidakkah Jama'ah Tabligh (JT) lebih

cocok jika kita nisbtakan kepada mereka? namun, akankah perilaku sekelompok orang-orang yang suka berdiam diri di

masjid pada masa kini, sama persis dengan apa yang ada di era Rasul ? Bagi penulis sendiri ketiga pendekatan

etimologi tersebut kurang memuaskan. Sebab ketiganya dalam pandangan penulis terlihat janggal bila kita tarik kembali

dari akar kata sufi (5HAJ). Apabila terdapat kejanggalan dalam etimologi, lantas bagaimana mungkin kita mampu

menguaknya dalam dimensi termino¬logi? Oleh sebab itu, penulis mencoba mengemukakan sebuah definisi yang

mungkin lebih elegan dan rasional. Definisi tersebut penulis kutip dari Shahib al-Samahah, seorang spesialis tasawuf,

Pondok Pesantren Salafiyah Ma'dinul'Ulum Campurdarat Tulungagung Jawa Timur Indonesia

http://pontrenmadinululum.radiomadufm.com Menggunakan Joomla! Generated: 2 April, 2009, 14:41

yang kalimat-kalimat hikmahnya senan¬tiasa menghiasi progresifitas majalah al-Tasawuf al-Islami di negeri Kinanah,

Mesir. Dalam pandangan beliau, kata sufi bukanlah kata benda (ism), melainkan bentuk fi'il madli mabni majhul (kata

kerja pasif). Sebagaimana kata ufiya (disem¬buhkan) dan nudiya (dipanggil), maka kata shufiya berarti disucikan. Dan

akar kata tersebut disaripatikan dari akar kata shafa’ dan mushafah. Dari pendekatan etimologi tersebut, dapat

ditarik sebuah definisi terminologis yang dipertegas dengan ayat al-Qur`an : " J' E1JE %F 'DDG '57A'C H7G1C H'57A'C

9DI F3'! 'D9'DEJF " Artinya: Sesungguhnya Allah membeningkan, mensucikan dan melebihkan dirimu atas wanita

semesta alam. Tiga tahapan seseorang yang dibeningkan, lalu disucikan dan kemudian dipilih atau dilebihkan atas

hamba Allah yang lain. Dari ayat tersebut Shahib al-Samahah menarik sebuah definisi terminologis #HDI E1'-D 'DH5HD

%DI 'D5A'! 'D0J JFE 9F 'DE5'A') Sebuah tahapan awal dari sebuah pembeningan hati menuju tahap penyu¬cian

selanjutnya (mukasyafah). Mengacu pada ayat tersebut, berarti Allah swt. membersihkan, mensucikan dan memilih

Sayidah Maryam menjadi orang pilihan melalui mukasyafah (sebuah penyingkapan tabir hubungan antara hamba

dengan Tuhan). Sedangkan terma tasawuf yang juga berasal dari akar kata yang sama, Shahib al-Samahah

mendefinisikan men¬jadi : 'D9D'B) 'D7(J9J) 'D.'5) (JF 'D9(/ H'D1( Sebuah hubungan khusus antara hamba dengan

Tuhannya. Atau bila dikaitkan secara korelatif antara sufi dan tasawuf, maka terma tasawuf berarti: Proses menuju

sebuah pembersihan hati dengan mengikuti jejak sang sufi (manusia terpilih) yang telah disucikan oleh Allah. Walaupun

demikian penulis tidak pernah menafikan definisi yang lain, tapi dalam sudut pandang penulis, mungkin definisi yang

paling memuaskan adalah definisi versi Sahib al-Samahah. Dan mungkin persepsi tersebut masih layak untuk dikaji dan

diperdebatkan. Sebab realitanya masih banyak pakar-pakar muslim yang hanya melegitimasi tathhir al-qalb atau tazkiyat

al-nafs dan menolak secara mentah-mentah terminologi sufi dan tasawuf, tanpa mau menerima pendapat pihak lain

yang mencoba membuktikan bahwa terminologi tasawuf dan sufi dapat ditemukan dalam refrensi utama ajaran Islam.

Lebih lanjut menurut Shahib al-Samahah, perkembangan tasawuf bukan merupakan plagiatisme dari peradaban dan

kebudayaan manapun, termasuk ajaran-ajaran Hermes dan Neoplatonisme, walaupun secara fair dan obyektif

peradaban (tsaqafah) Islam tidak pernah menafikan al-ta`tsir (pengaruh) dan al-ta`atstsur (terpengaruh) pihak lain.

Namun, tatkala tasawuf diidentikkan dengan perkawinan antara budaya non Islam (Yunani, Kristen, Budha dsb.) dengan

substansi ajaran Islam, berarti secara tidak langsung hal ini merupakan pendiskreditan terhadap kesucian dan

keotentikan Din al-Islam. Dan presepsi di atas seolah-olah memandang sebelah mata realita keyakinan dan amaliah

yang diamalkan oleh mayoritas kaum muslim di seluruh dunia. Apakah memang di dalam ajaran Islam telah banyak

terjadi penyimpangan dan pencampuradukan ajaran agama? Dalam pandangan Shahib al-Samahah kehadiran tasawuf

di muka bumi sejalan dengan kelahiran manusia. Dalam hal ini, Shahib al-Samahah menyitir sebuah ayat al-Qur`an yang

berbunyi : " %F 'DDG '57AI "/E H FH-' H"D %(1'GJE H"D 9E1'F 9DI 'D9'DEJF " Artinya: Sesungguhnya Allah telah

mensucikan (melebihkan) Nabi Adam, Nabi Nuh, Keluarga Nabi Ibrahim, dan Keluarga Imran melebihi makhluk semesta

alam. Hal inilah yang dialihbahasakan oleh Syekh Ibnu Arabi ra. dengan Wihdat al-Adyan (Islam sebagai titik pusat

agama-agama Samawi). Sebagai catatan semua agama samawi adalah agama hanif yang layak disebut sebagai agama

Islam. Namun sayangnya pada saat ini telah habis masa berlakunya dan melebur dalam agama Islam yang dibawa oleh

Saidina Muhammad saw. Presepsi tersebut bukan berarti Islam tidak mengakui dan menjunjung tinggi pihak lain dan

tidak berarti esensi Islam merupakan pencampuradukan agama dan plagiatisme ajaran agama lain. Dengan kata lain,

tasawuf merupakan inti ajaran Islam yang sering diperluas dengan iman, islam dan ihsan. Rangkaian ketiga kata

tersebut memiliki korelasi yang tak dapat dipisahkan. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Islam hanya sebatas

kelima rukun (asas) bangunannya. Namun seharusnya kelima pilar tersebut harus dimaksimalkan menjadi bangunan

agama yang utuh dan disempurnakan dengan esensi Iman dan Ihsan sebagai pelengkapnya. Sebaliknya, walaupun

ihsan merupakan tahapan tertinggi dalam beragama, namun status¬nya pun tidak dapat dipisahkan dari iman dan islam.

Sekelompok orang yang menisbatkan tasawuf sebagai sebuah nilai-nilai etika yang terangkum dari pelbagai peradaban

agama dan budaya, tentu mereka akan menyimpulkan bahwa dalam setiap agama dan budaya seolah-olah terdapat

substansi ajaran tasawuf. Apabila kita mau mengkaji lebih lanjut kesimpulan tersebut mungkin akan kita temukan

sebuah kerancuan. Memang, bila kita perhatikan semua agama mengajarkan kebaikan, akan tetapi perlu kita ingat tidak

semua agama membawa kebenaran sejati. Mungkin sekilas kalimat tersebut mengindikasikan sebuah klaim kebenaran

yang seharusnya tidak terucap dari seorang manusia, sebab kebenaran mutlak adalah hak prerogatif Tuhan. Namun di

sisi lain, kita acapkali melupakan bahwa mustahil Tuhan menafikan kesesatan. Artinya kita seba¬gai manusia diberikan

kebebasan untuk memilih dan memilah kebenaran tersebut. Toh, apa yang kita yakini dan kita amalkan belum tentu

paling benar di hadapan Tuhan, tapi paling tidak kita harus berusaha untuk menemukan dan meyakini sebuah

kebenaran ilahi. Dalam hal ini, memang kita diwajibkan untuk menghargai dan menghormati pilihan orang lain. Namun,

bukan berarti kita malah tidak memilih, mencampuradukkan atau bahkan memproduksi klaim kebenaran baru dengan

tanpa memilihnya. Begitu juga dalam beragama (terutama dalam bertasawuf), setiap individu pun diberikan kebebasan

untuk memilih jalan yang berbeda-beda. Akan tetapi jalan tersebut tidak dapat kita campur adukkan. Jika memang

kekhawatiran tersebut terjadi, maka tidak menutup kemungkinan banyak pihak yang menggebyah uyah (mengeneralisir)

antara tasawuf dan sinkretisme agama. Di sisi lain, kita juga acapkali menemukan kelompok yang berusaha

mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua bagian. Pertama tasawuf sunni dan kedua tasawuf falsafi. Pengklasifikasian

tersebut seolah-olah telah menjadi sebuah keniscayaan ilmiah, namun bila kita kaji ulang justru pengklasifikasian

tersebut seolah-olah memberikan klaim sepihak terhadap tasawuf orisinil (sesuai dengan syari'at) dan tidak menyimpang

dari rel-rel agama. Keberpihakan tersebut seolah-olah dianugerahkan kepada tasawuf sunni, sedangkan tasawuf yang

menyimpang divonis sebagai tasawuf falsafi. Sebenarnya kalau kita kembali pada titik tolak yang menyatakan bahwa

tasawuf sebagai pengalaman spiritual yang sangat erat kaitannya dengan individu, tentu standar yang kita gunakan

untuk menentukan orisinil atau tidaknya sesuatu adalah standar yang lebih obyektif dan komprehensif. Dengan kata lain,

apabila kita hanya membatasi standar tersebut dengan esensi iman dan islam saja niscaya kita akan terjebak dalam

kebuntuan hitam di atas putih. Tapi bila standar iman, islam dan ihsan kita maksimalkan secara proporsional, tentu kita

Pondok Pesantren Salafiyah Ma'dinul'Ulum Campurdarat Tulungagung Jawa Timur Indonesia

http://pontrenmadinululum.radiomadufm.com Menggunakan Joomla! Generated: 2 April, 2009, 14:41

tidak akan terjebak dengan klasifikasi sepihak tersebut. Sebab pada dasarnya, tasawuf falsafi bukanlah tasawuf sesat,

akan tetapi sebuah penga¬laman spiritual pribadi, yang mungkin hanya dipahami oleh mereka yang merasakan,

sedangkan kita hanya meng¬amati dari permukaan saja. Sebagaimana kearifan Saidina al-Khidlr yang tidak dipa¬hami

oleh Nabi Musa, memang sepintas Saidina al-Khidlr melakukan tindakan kriminal dalam kaca mata keagamaan Nabi

Musa. Tapi sebenarnya Saidina al-Khidlr mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Nabi Musa. Begitu juga yang dialami

oleh Syekh Abu Manshur al-Hallaj ra. yang identik dengan "Ana al-Haq" dan Syekh Ibnu Arabi ra. yang tindakannya

selalu dikate¬gorikan sebagai Syathahat al-Shufiyyah. Sebab realitanya banyak pihak yang tidak mampu menangkap

spirit dasar ajaran Islam melalui bashirah (mata hati) yang akan mengantarkan seseorang untuk memahami hakekat

sesuatu; tidak hanya tertipu dengan kemasan belaka. Walaupun realitanya fenomena tersebut sering dimanfaatkan oleh

segelintir orang sebagai pengakuan palsu dan pemahaman yang tidak berdasar yang harus kita waspadai. Dari sini

dalam pandangan penulis klasifikasi tersebut perlu ditinjau ulang kembali. Apabila memang klasifikasi tersebut didasari

atas tipologi dan model yang berbeda, mungkin hal itu sah-sah saja. Namun bila klasifikasi tersebut ditujukan sebagai

sebuah vonis sesat, yang ditemukan dalam sebuah tipologi tasawuf, berarti tuduhan tersebut seharusnya dikembalikan

kepada pelaku, bukan pada substansi ajarannya. Sebab realitanya tasawuf memiliki corak yang beraneka ragam dan

akan senantiasa peka ruang dan waktu, tanpa harus kehilangan jati dirinya.