Melacak Definisi dan Akar-akar Tasawuf
Menguraikan seputar terma tasawuf dan sufi memang tak semudah membalikkan kedua belah telapak tangan. Apalagi
bila upaya penguraian tersebut harus dituntut dengan ketentuan-ketentuan ilmiah dan rasional. Di samping kendala
tersebut, problematika yang sebenarnya sangat riskan untuk dipecahkan adalah komentar dan hasil perabaan
seseorang yang sama sekali tidak pernah menggeluti atau terjun langsung dalam dunia tasawuf secara aktif dan intensif.
Sehingga kesimpulan yang mereka lontarkan adalah perabaan secara gegabah dan serampangan yang mungkin perlu
dikaji kembali. Sebab mendefinisikan dan menjabarkan sesuatu bukanlah sebuah garapan yang mudah. Apalagi bila
dilanjutkan dengan pemaparan yang keluar dari seorang yang terlihat capable, padahal sebenarnya tidak kompeten dan
tidak menguasai permasalahan tersebut. Sungguh hal seperti ini sebuah perabaan dan hipotesa yang membahayakan.
Oleh sebab itu, meminjam istilah Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar ra.), titik tolak dalam mendefinisikan dan
mendeskripsikan sesuatu merupakan garapan para spesialis bidang tersebut. Dengan kata lain, sebelum mendefinisikan
sesuatu secara jami' mani' (komprehensif), tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu kategori definisi yang definitif
(ta'rif al-ta'rif), sebuah inti pembahasan yang acapkali tidak disentuh sebagian kalangan dalam menjabarkan sebuah
terma tertentu. Akibatnya terma tersebut menjadi kabur dan ambigu; tidak memiliki standar dan batasan yang jelas.
Oleh sebab itu, penulis mencoba menyitir istilah Shahib al-Samahah tentang hal tersebut. Beliau menyebutkan, bahwa
ta'rif al-ta'rif adalah: %(1'2 'DE9FI 'DE3*B1 9F/ #GD 'D%.*5'5 Artinya: Definisi adalah menguak makna sesuatu dengan
tepat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang benar-benar memiliki spesialisasi di bidangnya.
Fenomena yang lumrah dewasa ini adalah keluarnya presepsi seseorang tentang sesuatu yang dipoles seolah-olah
benar (tahqiq), padahal pada dasarnya kesimpulan tersebut baru merupakan hipotesa (dugaan) yang tidak menutup
kemungkinan akan selalu berubah dan bersifat variable (taqrib). Atau bisa jadi persepsi tersebut hanyalah penggiringan
opini yang disertai data-data yang terlihat akurat dan rasional, padahal di balik maklumat tersebut tak jarang ditunggangi
misi dan kepentingan tertentu. Apabila gejala tersebut tidak segera dicarikan solusi (qaul fashl), niscaya maklumatmaklumat
tersebut akan selalu membingungkan dan hanya menawarkan sebuah pilihan yang kelihatan terkotak-kotak
dalam pelbagai standar disiplin ilmu yang terkadang kurang sesuai dengan terma yang dikaji. Atau dengan kata lain
hanya tawaran yang terlihat riil dan membumi, tapi realitanya hanyalah idealisme yang senantiasa melangit dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Bertitik tolak dari paparan di atas, penulis mencoba menyajikan beberapa definisi
tasawuf dan sufi, yang selama ini penulis jumpai dalam pelbagai refrensi, yang realitanya kurang memuaskan. Sebab
meskipun definisi tersebut men¬dekati ketepatan dari segi kata, namun terasa janggal dan kurang sesuai dengan apa
yang didefinisikan. Hal ini bukan berarti penulis berusaha melakukan tindakan apologetik, defensif dan menafikan pihak
lain. Namun penulis berusaha menghindari sikap seseorang yang hanya meneriakkan secara lantang sebagai pencari
kebenaran, namun malah ingkar dan lari dari sesuatu yang mengarah mendekati kebenaran tersebut. Dalam hal ini,
setidaknya anda dapat mengamati bahwa para pengamat tasawuf dari pelbagai disiplin ilmu dan sudut pandang memiliki
sebuah titik persamaan yang menyimpulkan bahwa tasawuf adalah pengalaman spiritual (al-tajribah al-ruhiyyah),
meskipun dalam pendefinisian kata tasawuf dan sufi baik secara etimologi maupun terminologi, masih banyak
kontroversi yang acapkali terlihat kurang tepat dan janggal. Secara etimologi, penulis ingin mengemukakan beberapa
pendapat yang berusaha mendefinisikan kata sufi.
- Pertama, kata sufi berasal dari bahasa Yunani, Shopia, yang berarti kebijaksanaan. Kedua, golongan yang
berpendapat bahwa kata sufi merupakan penisbatan terhadap seseorang yang menge¬nakan bulu domba / wol (shuf).
Ketiga, kata sufi dinisbatkan kepada ahl al-shuffah (santri-santri di pesantren Rasul saw.), dan masih banyak lagi definisi
yang mungkin dapat digali dalam pelbagai literatur tasawuf, baik klasik maupun kontemporer. Tapi dengan ketiga definisi
tersebut, penulis mencoba untuk mendekatinya dengan pendekatan rasional.
- Pertama, apakah memang kata sufi berasal dari bahasa Yunani? benarkah pondasi nilai-nilai tasawuf merupakan
plagiat peradaban Yunani kuno? Padahal kalau kita mau mengkaji secara jeli dan teliti kata-kata sufi secara tersirat dan
tersurat banyak termaktub di dalam al-Qur`an. Jika demikian halnya, apakah memang al-Qur`an banyak memplagiat
peradaban Yunani kuno?
- Kedua, tatkala sufi dinisbatkan kepada seseorang yang memakai wol, berarti bukankah domba lebih sufi dari seorang
sufi?
- Ketiga, apabila sufi merupakan penisbatan terhadap santri-santri Rasul saw. (ahl al-shuffah) yang berdiam diri di pojokpojok
masjid, lantas haruskah sufi kontemporer berperilaku layaknya mereka? Tidakkah Jama'ah Tabligh (JT) lebih
cocok jika kita nisbtakan kepada mereka? namun, akankah perilaku sekelompok orang-orang yang suka berdiam diri di
masjid pada masa kini, sama persis dengan apa yang ada di era Rasul ? Bagi penulis sendiri ketiga pendekatan
etimologi tersebut kurang memuaskan. Sebab ketiganya dalam pandangan penulis terlihat janggal bila kita tarik kembali
dari akar kata sufi (5HAJ). Apabila terdapat kejanggalan dalam etimologi, lantas bagaimana mungkin kita mampu
menguaknya dalam dimensi termino¬logi? Oleh sebab itu, penulis mencoba mengemukakan sebuah definisi yang
mungkin lebih elegan dan rasional. Definisi tersebut penulis kutip dari Shahib al-Samahah, seorang spesialis tasawuf,
Pondok Pesantren Salafiyah Ma'dinul'Ulum Campurdarat Tulungagung Jawa Timur Indonesia
http://pontrenmadinululum.radiomadufm.com Menggunakan Joomla! Generated: 2 April, 2009, 14:41
yang kalimat-kalimat hikmahnya senan¬tiasa menghiasi progresifitas majalah al-Tasawuf al-Islami di negeri Kinanah,
Mesir. Dalam pandangan beliau, kata sufi bukanlah kata benda (ism), melainkan bentuk fi'il madli mabni majhul (kata
kerja pasif). Sebagaimana kata ufiya (disem¬buhkan) dan nudiya (dipanggil), maka kata shufiya berarti disucikan. Dan
akar kata tersebut disaripatikan dari akar kata shafa’ dan mushafah. Dari pendekatan etimologi tersebut, dapat
ditarik sebuah definisi terminologis yang dipertegas dengan ayat al-Qur`an : " J' E1JE %F 'DDG '57A'C H7G1C H'57A'C
9DI F3'! 'D9'DEJF " Artinya: Sesungguhnya Allah membeningkan, mensucikan dan melebihkan dirimu atas wanita
semesta alam. Tiga tahapan seseorang yang dibeningkan, lalu disucikan dan kemudian dipilih atau dilebihkan atas
hamba Allah yang lain. Dari ayat tersebut Shahib al-Samahah menarik sebuah definisi terminologis #HDI E1'-D 'DH5HD
%DI 'D5A'! 'D0J JFE 9F 'DE5'A') Sebuah tahapan awal dari sebuah pembeningan hati menuju tahap penyu¬cian
selanjutnya (mukasyafah). Mengacu pada ayat tersebut, berarti Allah swt. membersihkan, mensucikan dan memilih
Sayidah Maryam menjadi orang pilihan melalui mukasyafah (sebuah penyingkapan tabir hubungan antara hamba
dengan Tuhan). Sedangkan terma tasawuf yang juga berasal dari akar kata yang sama, Shahib al-Samahah
mendefinisikan men¬jadi : 'D9D'B) 'D7(J9J) 'D.'5) (JF 'D9(/ H'D1( Sebuah hubungan khusus antara hamba dengan
Tuhannya. Atau bila dikaitkan secara korelatif antara sufi dan tasawuf, maka terma tasawuf berarti: Proses menuju
sebuah pembersihan hati dengan mengikuti jejak sang sufi (manusia terpilih) yang telah disucikan oleh Allah. Walaupun
demikian penulis tidak pernah menafikan definisi yang lain, tapi dalam sudut pandang penulis, mungkin definisi yang
paling memuaskan adalah definisi versi Sahib al-Samahah. Dan mungkin persepsi tersebut masih layak untuk dikaji dan
diperdebatkan. Sebab realitanya masih banyak pakar-pakar muslim yang hanya melegitimasi tathhir al-qalb atau tazkiyat
al-nafs dan menolak secara mentah-mentah terminologi sufi dan tasawuf, tanpa mau menerima pendapat pihak lain
yang mencoba membuktikan bahwa terminologi tasawuf dan sufi dapat ditemukan dalam refrensi utama ajaran Islam.
Lebih lanjut menurut Shahib al-Samahah, perkembangan tasawuf bukan merupakan plagiatisme dari peradaban dan
kebudayaan manapun, termasuk ajaran-ajaran Hermes dan Neoplatonisme, walaupun secara fair dan obyektif
peradaban (tsaqafah) Islam tidak pernah menafikan al-ta`tsir (pengaruh) dan al-ta`atstsur (terpengaruh) pihak lain.
Namun, tatkala tasawuf diidentikkan dengan perkawinan antara budaya non Islam (Yunani, Kristen, Budha dsb.) dengan
substansi ajaran Islam, berarti secara tidak langsung hal ini merupakan pendiskreditan terhadap kesucian dan
keotentikan Din al-Islam. Dan presepsi di atas seolah-olah memandang sebelah mata realita keyakinan dan amaliah
yang diamalkan oleh mayoritas kaum muslim di seluruh dunia. Apakah memang di dalam ajaran Islam telah banyak
terjadi penyimpangan dan pencampuradukan ajaran agama? Dalam pandangan Shahib al-Samahah kehadiran tasawuf
di muka bumi sejalan dengan kelahiran manusia. Dalam hal ini, Shahib al-Samahah menyitir sebuah ayat al-Qur`an yang
berbunyi : " %F 'DDG '57AI "/E H FH-' H"D %(1'GJE H"D 9E1'F 9DI 'D9'DEJF " Artinya: Sesungguhnya Allah telah
mensucikan (melebihkan) Nabi Adam, Nabi Nuh, Keluarga Nabi Ibrahim, dan Keluarga Imran melebihi makhluk semesta
alam. Hal inilah yang dialihbahasakan oleh Syekh Ibnu Arabi ra. dengan Wihdat al-Adyan (Islam sebagai titik pusat
agama-agama Samawi). Sebagai catatan semua agama samawi adalah agama hanif yang layak disebut sebagai agama
Islam. Namun sayangnya pada saat ini telah habis masa berlakunya dan melebur dalam agama Islam yang dibawa oleh
Saidina Muhammad saw. Presepsi tersebut bukan berarti Islam tidak mengakui dan menjunjung tinggi pihak lain dan
tidak berarti esensi Islam merupakan pencampuradukan agama dan plagiatisme ajaran agama lain. Dengan kata lain,
tasawuf merupakan inti ajaran Islam yang sering diperluas dengan iman, islam dan ihsan. Rangkaian ketiga kata
tersebut memiliki korelasi yang tak dapat dipisahkan. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Islam hanya sebatas
kelima rukun (asas) bangunannya. Namun seharusnya kelima pilar tersebut harus dimaksimalkan menjadi bangunan
agama yang utuh dan disempurnakan dengan esensi Iman dan Ihsan sebagai pelengkapnya. Sebaliknya, walaupun
ihsan merupakan tahapan tertinggi dalam beragama, namun status¬nya pun tidak dapat dipisahkan dari iman dan islam.
Sekelompok orang yang menisbatkan tasawuf sebagai sebuah nilai-nilai etika yang terangkum dari pelbagai peradaban
agama dan budaya, tentu mereka akan menyimpulkan bahwa dalam setiap agama dan budaya seolah-olah terdapat
substansi ajaran tasawuf. Apabila kita mau mengkaji lebih lanjut kesimpulan tersebut mungkin akan kita temukan
sebuah kerancuan. Memang, bila kita perhatikan semua agama mengajarkan kebaikan, akan tetapi perlu kita ingat tidak
semua agama membawa kebenaran sejati. Mungkin sekilas kalimat tersebut mengindikasikan sebuah klaim kebenaran
yang seharusnya tidak terucap dari seorang manusia, sebab kebenaran mutlak adalah hak prerogatif Tuhan. Namun di
sisi lain, kita acapkali melupakan bahwa mustahil Tuhan menafikan kesesatan. Artinya kita seba¬gai manusia diberikan
kebebasan untuk memilih dan memilah kebenaran tersebut. Toh, apa yang kita yakini dan kita amalkan belum tentu
paling benar di hadapan Tuhan, tapi paling tidak kita harus berusaha untuk menemukan dan meyakini sebuah
kebenaran ilahi. Dalam hal ini, memang kita diwajibkan untuk menghargai dan menghormati pilihan orang lain. Namun,
bukan berarti kita malah tidak memilih, mencampuradukkan atau bahkan memproduksi klaim kebenaran baru dengan
tanpa memilihnya. Begitu juga dalam beragama (terutama dalam bertasawuf), setiap individu pun diberikan kebebasan
untuk memilih jalan yang berbeda-beda. Akan tetapi jalan tersebut tidak dapat kita campur adukkan. Jika memang
kekhawatiran tersebut terjadi, maka tidak menutup kemungkinan banyak pihak yang menggebyah uyah (mengeneralisir)
antara tasawuf dan sinkretisme agama. Di sisi lain, kita juga acapkali menemukan kelompok yang berusaha
mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua bagian. Pertama tasawuf sunni dan kedua tasawuf falsafi. Pengklasifikasian
tersebut seolah-olah telah menjadi sebuah keniscayaan ilmiah, namun bila kita kaji ulang justru pengklasifikasian
tersebut seolah-olah memberikan klaim sepihak terhadap tasawuf orisinil (sesuai dengan syari'at) dan tidak menyimpang
dari rel-rel agama. Keberpihakan tersebut seolah-olah dianugerahkan kepada tasawuf sunni, sedangkan tasawuf yang
menyimpang divonis sebagai tasawuf falsafi. Sebenarnya kalau kita kembali pada titik tolak yang menyatakan bahwa
tasawuf sebagai pengalaman spiritual yang sangat erat kaitannya dengan individu, tentu standar yang kita gunakan
untuk menentukan orisinil atau tidaknya sesuatu adalah standar yang lebih obyektif dan komprehensif. Dengan kata lain,
apabila kita hanya membatasi standar tersebut dengan esensi iman dan islam saja niscaya kita akan terjebak dalam
kebuntuan hitam di atas putih. Tapi bila standar iman, islam dan ihsan kita maksimalkan secara proporsional, tentu kita
Pondok Pesantren Salafiyah Ma'dinul'Ulum Campurdarat Tulungagung Jawa Timur Indonesia
http://pontrenmadinululum.radiomadufm.com Menggunakan Joomla! Generated: 2 April, 2009, 14:41
tidak akan terjebak dengan klasifikasi sepihak tersebut. Sebab pada dasarnya, tasawuf falsafi bukanlah tasawuf sesat,
akan tetapi sebuah penga¬laman spiritual pribadi, yang mungkin hanya dipahami oleh mereka yang merasakan,
sedangkan kita hanya meng¬amati dari permukaan saja. Sebagaimana kearifan Saidina al-Khidlr yang tidak dipa¬hami
oleh Nabi Musa, memang sepintas Saidina al-Khidlr melakukan tindakan kriminal dalam kaca mata keagamaan Nabi
Musa. Tapi sebenarnya Saidina al-Khidlr mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Nabi Musa. Begitu juga yang dialami
oleh Syekh Abu Manshur al-Hallaj ra. yang identik dengan "Ana al-Haq" dan Syekh Ibnu Arabi ra. yang tindakannya
selalu dikate¬gorikan sebagai Syathahat al-Shufiyyah. Sebab realitanya banyak pihak yang tidak mampu menangkap
spirit dasar ajaran Islam melalui bashirah (mata hati) yang akan mengantarkan seseorang untuk memahami hakekat
sesuatu; tidak hanya tertipu dengan kemasan belaka. Walaupun realitanya fenomena tersebut sering dimanfaatkan oleh
segelintir orang sebagai pengakuan palsu dan pemahaman yang tidak berdasar yang harus kita waspadai. Dari sini
dalam pandangan penulis klasifikasi tersebut perlu ditinjau ulang kembali. Apabila memang klasifikasi tersebut didasari
atas tipologi dan model yang berbeda, mungkin hal itu sah-sah saja. Namun bila klasifikasi tersebut ditujukan sebagai
sebuah vonis sesat, yang ditemukan dalam sebuah tipologi tasawuf, berarti tuduhan tersebut seharusnya dikembalikan
kepada pelaku, bukan pada substansi ajarannya. Sebab realitanya tasawuf memiliki corak yang beraneka ragam dan
akan senantiasa peka ruang dan waktu, tanpa harus kehilangan jati dirinya.
Rabu, 22 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar