Rabu, 22 April 2009

Melacak Definisi dan Akar-akar Tasawuf



Menguraikan seputar terma tasawuf dan sufi memang tak semudah membalikkan kedua belah telapak tangan. Apalagi

bila upaya penguraian tersebut harus dituntut dengan ketentuan-ketentuan ilmiah dan rasional. Di samping kendala

tersebut, problematika yang sebenarnya sangat riskan untuk dipecahkan adalah komentar dan hasil perabaan

seseorang yang sama sekali tidak pernah menggeluti atau terjun langsung dalam dunia tasawuf secara aktif dan intensif.

Sehingga kesimpulan yang mereka lontarkan adalah perabaan secara gegabah dan serampangan yang mungkin perlu

dikaji kembali. Sebab mendefinisikan dan menjabarkan sesuatu bukanlah sebuah garapan yang mudah. Apalagi bila

dilanjutkan dengan pemaparan yang keluar dari seorang yang terlihat capable, padahal sebenarnya tidak kompeten dan

tidak menguasai permasalahan tersebut. Sungguh hal seperti ini sebuah perabaan dan hipotesa yang membahayakan.

Oleh sebab itu, meminjam istilah Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar ra.), titik tolak dalam mendefinisikan dan

mendeskripsikan sesuatu merupakan garapan para spesialis bidang tersebut. Dengan kata lain, sebelum mendefinisikan

sesuatu secara jami' mani' (komprehensif), tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu kategori definisi yang definitif

(ta'rif al-ta'rif), sebuah inti pembahasan yang acapkali tidak disentuh sebagian kalangan dalam menjabarkan sebuah

terma tertentu. Akibatnya terma tersebut menjadi kabur dan ambigu; tidak memiliki standar dan batasan yang jelas.

Oleh sebab itu, penulis mencoba menyitir istilah Shahib al-Samahah tentang hal tersebut. Beliau menyebutkan, bahwa

ta'rif al-ta'rif adalah: %(1'2 'DE9FI 'DE3*B1 9F/ #GD 'D%.*5'5 Artinya: Definisi adalah menguak makna sesuatu dengan

tepat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang benar-benar memiliki spesialisasi di bidangnya.

Fenomena yang lumrah dewasa ini adalah keluarnya presepsi seseorang tentang sesuatu yang dipoles seolah-olah

benar (tahqiq), padahal pada dasarnya kesimpulan tersebut baru merupakan hipotesa (dugaan) yang tidak menutup

kemungkinan akan selalu berubah dan bersifat variable (taqrib). Atau bisa jadi persepsi tersebut hanyalah penggiringan

opini yang disertai data-data yang terlihat akurat dan rasional, padahal di balik maklumat tersebut tak jarang ditunggangi

misi dan kepentingan tertentu. Apabila gejala tersebut tidak segera dicarikan solusi (qaul fashl), niscaya maklumatmaklumat

tersebut akan selalu membingungkan dan hanya menawarkan sebuah pilihan yang kelihatan terkotak-kotak

dalam pelbagai standar disiplin ilmu yang terkadang kurang sesuai dengan terma yang dikaji. Atau dengan kata lain

hanya tawaran yang terlihat riil dan membumi, tapi realitanya hanyalah idealisme yang senantiasa melangit dan tidak

dapat dipertanggungjawabkan. Bertitik tolak dari paparan di atas, penulis mencoba menyajikan beberapa definisi

tasawuf dan sufi, yang selama ini penulis jumpai dalam pelbagai refrensi, yang realitanya kurang memuaskan. Sebab

meskipun definisi tersebut men¬dekati ketepatan dari segi kata, namun terasa janggal dan kurang sesuai dengan apa

yang didefinisikan. Hal ini bukan berarti penulis berusaha melakukan tindakan apologetik, defensif dan menafikan pihak

lain. Namun penulis berusaha menghindari sikap seseorang yang hanya meneriakkan secara lantang sebagai pencari

kebenaran, namun malah ingkar dan lari dari sesuatu yang mengarah mendekati kebenaran tersebut. Dalam hal ini,

setidaknya anda dapat mengamati bahwa para pengamat tasawuf dari pelbagai disiplin ilmu dan sudut pandang memiliki

sebuah titik persamaan yang menyimpulkan bahwa tasawuf adalah pengalaman spiritual (al-tajribah al-ruhiyyah),

meskipun dalam pendefinisian kata tasawuf dan sufi baik secara etimologi maupun terminologi, masih banyak

kontroversi yang acapkali terlihat kurang tepat dan janggal. Secara etimologi, penulis ingin mengemukakan beberapa

pendapat yang berusaha mendefinisikan kata sufi.

- Pertama, kata sufi berasal dari bahasa Yunani, Shopia, yang berarti kebijaksanaan. Kedua, golongan yang

berpendapat bahwa kata sufi merupakan penisbatan terhadap seseorang yang menge¬nakan bulu domba / wol (shuf).

Ketiga, kata sufi dinisbatkan kepada ahl al-shuffah (santri-santri di pesantren Rasul saw.), dan masih banyak lagi definisi

yang mungkin dapat digali dalam pelbagai literatur tasawuf, baik klasik maupun kontemporer. Tapi dengan ketiga definisi

tersebut, penulis mencoba untuk mendekatinya dengan pendekatan rasional.

- Pertama, apakah memang kata sufi berasal dari bahasa Yunani? benarkah pondasi nilai-nilai tasawuf merupakan

plagiat peradaban Yunani kuno? Padahal kalau kita mau mengkaji secara jeli dan teliti kata-kata sufi secara tersirat dan

tersurat banyak termaktub di dalam al-Qur`an. Jika demikian halnya, apakah memang al-Qur`an banyak memplagiat

peradaban Yunani kuno?

- Kedua, tatkala sufi dinisbatkan kepada seseorang yang memakai wol, berarti bukankah domba lebih sufi dari seorang

sufi?

- Ketiga, apabila sufi merupakan penisbatan terhadap santri-santri Rasul saw. (ahl al-shuffah) yang berdiam diri di pojokpojok

masjid, lantas haruskah sufi kontemporer berperilaku layaknya mereka? Tidakkah Jama'ah Tabligh (JT) lebih

cocok jika kita nisbtakan kepada mereka? namun, akankah perilaku sekelompok orang-orang yang suka berdiam diri di

masjid pada masa kini, sama persis dengan apa yang ada di era Rasul ? Bagi penulis sendiri ketiga pendekatan

etimologi tersebut kurang memuaskan. Sebab ketiganya dalam pandangan penulis terlihat janggal bila kita tarik kembali

dari akar kata sufi (5HAJ). Apabila terdapat kejanggalan dalam etimologi, lantas bagaimana mungkin kita mampu

menguaknya dalam dimensi termino¬logi? Oleh sebab itu, penulis mencoba mengemukakan sebuah definisi yang

mungkin lebih elegan dan rasional. Definisi tersebut penulis kutip dari Shahib al-Samahah, seorang spesialis tasawuf,

Pondok Pesantren Salafiyah Ma'dinul'Ulum Campurdarat Tulungagung Jawa Timur Indonesia

http://pontrenmadinululum.radiomadufm.com Menggunakan Joomla! Generated: 2 April, 2009, 14:41

yang kalimat-kalimat hikmahnya senan¬tiasa menghiasi progresifitas majalah al-Tasawuf al-Islami di negeri Kinanah,

Mesir. Dalam pandangan beliau, kata sufi bukanlah kata benda (ism), melainkan bentuk fi'il madli mabni majhul (kata

kerja pasif). Sebagaimana kata ufiya (disem¬buhkan) dan nudiya (dipanggil), maka kata shufiya berarti disucikan. Dan

akar kata tersebut disaripatikan dari akar kata shafa’ dan mushafah. Dari pendekatan etimologi tersebut, dapat

ditarik sebuah definisi terminologis yang dipertegas dengan ayat al-Qur`an : " J' E1JE %F 'DDG '57A'C H7G1C H'57A'C

9DI F3'! 'D9'DEJF " Artinya: Sesungguhnya Allah membeningkan, mensucikan dan melebihkan dirimu atas wanita

semesta alam. Tiga tahapan seseorang yang dibeningkan, lalu disucikan dan kemudian dipilih atau dilebihkan atas

hamba Allah yang lain. Dari ayat tersebut Shahib al-Samahah menarik sebuah definisi terminologis #HDI E1'-D 'DH5HD

%DI 'D5A'! 'D0J JFE 9F 'DE5'A') Sebuah tahapan awal dari sebuah pembeningan hati menuju tahap penyu¬cian

selanjutnya (mukasyafah). Mengacu pada ayat tersebut, berarti Allah swt. membersihkan, mensucikan dan memilih

Sayidah Maryam menjadi orang pilihan melalui mukasyafah (sebuah penyingkapan tabir hubungan antara hamba

dengan Tuhan). Sedangkan terma tasawuf yang juga berasal dari akar kata yang sama, Shahib al-Samahah

mendefinisikan men¬jadi : 'D9D'B) 'D7(J9J) 'D.'5) (JF 'D9(/ H'D1( Sebuah hubungan khusus antara hamba dengan

Tuhannya. Atau bila dikaitkan secara korelatif antara sufi dan tasawuf, maka terma tasawuf berarti: Proses menuju

sebuah pembersihan hati dengan mengikuti jejak sang sufi (manusia terpilih) yang telah disucikan oleh Allah. Walaupun

demikian penulis tidak pernah menafikan definisi yang lain, tapi dalam sudut pandang penulis, mungkin definisi yang

paling memuaskan adalah definisi versi Sahib al-Samahah. Dan mungkin persepsi tersebut masih layak untuk dikaji dan

diperdebatkan. Sebab realitanya masih banyak pakar-pakar muslim yang hanya melegitimasi tathhir al-qalb atau tazkiyat

al-nafs dan menolak secara mentah-mentah terminologi sufi dan tasawuf, tanpa mau menerima pendapat pihak lain

yang mencoba membuktikan bahwa terminologi tasawuf dan sufi dapat ditemukan dalam refrensi utama ajaran Islam.

Lebih lanjut menurut Shahib al-Samahah, perkembangan tasawuf bukan merupakan plagiatisme dari peradaban dan

kebudayaan manapun, termasuk ajaran-ajaran Hermes dan Neoplatonisme, walaupun secara fair dan obyektif

peradaban (tsaqafah) Islam tidak pernah menafikan al-ta`tsir (pengaruh) dan al-ta`atstsur (terpengaruh) pihak lain.

Namun, tatkala tasawuf diidentikkan dengan perkawinan antara budaya non Islam (Yunani, Kristen, Budha dsb.) dengan

substansi ajaran Islam, berarti secara tidak langsung hal ini merupakan pendiskreditan terhadap kesucian dan

keotentikan Din al-Islam. Dan presepsi di atas seolah-olah memandang sebelah mata realita keyakinan dan amaliah

yang diamalkan oleh mayoritas kaum muslim di seluruh dunia. Apakah memang di dalam ajaran Islam telah banyak

terjadi penyimpangan dan pencampuradukan ajaran agama? Dalam pandangan Shahib al-Samahah kehadiran tasawuf

di muka bumi sejalan dengan kelahiran manusia. Dalam hal ini, Shahib al-Samahah menyitir sebuah ayat al-Qur`an yang

berbunyi : " %F 'DDG '57AI "/E H FH-' H"D %(1'GJE H"D 9E1'F 9DI 'D9'DEJF " Artinya: Sesungguhnya Allah telah

mensucikan (melebihkan) Nabi Adam, Nabi Nuh, Keluarga Nabi Ibrahim, dan Keluarga Imran melebihi makhluk semesta

alam. Hal inilah yang dialihbahasakan oleh Syekh Ibnu Arabi ra. dengan Wihdat al-Adyan (Islam sebagai titik pusat

agama-agama Samawi). Sebagai catatan semua agama samawi adalah agama hanif yang layak disebut sebagai agama

Islam. Namun sayangnya pada saat ini telah habis masa berlakunya dan melebur dalam agama Islam yang dibawa oleh

Saidina Muhammad saw. Presepsi tersebut bukan berarti Islam tidak mengakui dan menjunjung tinggi pihak lain dan

tidak berarti esensi Islam merupakan pencampuradukan agama dan plagiatisme ajaran agama lain. Dengan kata lain,

tasawuf merupakan inti ajaran Islam yang sering diperluas dengan iman, islam dan ihsan. Rangkaian ketiga kata

tersebut memiliki korelasi yang tak dapat dipisahkan. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Islam hanya sebatas

kelima rukun (asas) bangunannya. Namun seharusnya kelima pilar tersebut harus dimaksimalkan menjadi bangunan

agama yang utuh dan disempurnakan dengan esensi Iman dan Ihsan sebagai pelengkapnya. Sebaliknya, walaupun

ihsan merupakan tahapan tertinggi dalam beragama, namun status¬nya pun tidak dapat dipisahkan dari iman dan islam.

Sekelompok orang yang menisbatkan tasawuf sebagai sebuah nilai-nilai etika yang terangkum dari pelbagai peradaban

agama dan budaya, tentu mereka akan menyimpulkan bahwa dalam setiap agama dan budaya seolah-olah terdapat

substansi ajaran tasawuf. Apabila kita mau mengkaji lebih lanjut kesimpulan tersebut mungkin akan kita temukan

sebuah kerancuan. Memang, bila kita perhatikan semua agama mengajarkan kebaikan, akan tetapi perlu kita ingat tidak

semua agama membawa kebenaran sejati. Mungkin sekilas kalimat tersebut mengindikasikan sebuah klaim kebenaran

yang seharusnya tidak terucap dari seorang manusia, sebab kebenaran mutlak adalah hak prerogatif Tuhan. Namun di

sisi lain, kita acapkali melupakan bahwa mustahil Tuhan menafikan kesesatan. Artinya kita seba¬gai manusia diberikan

kebebasan untuk memilih dan memilah kebenaran tersebut. Toh, apa yang kita yakini dan kita amalkan belum tentu

paling benar di hadapan Tuhan, tapi paling tidak kita harus berusaha untuk menemukan dan meyakini sebuah

kebenaran ilahi. Dalam hal ini, memang kita diwajibkan untuk menghargai dan menghormati pilihan orang lain. Namun,

bukan berarti kita malah tidak memilih, mencampuradukkan atau bahkan memproduksi klaim kebenaran baru dengan

tanpa memilihnya. Begitu juga dalam beragama (terutama dalam bertasawuf), setiap individu pun diberikan kebebasan

untuk memilih jalan yang berbeda-beda. Akan tetapi jalan tersebut tidak dapat kita campur adukkan. Jika memang

kekhawatiran tersebut terjadi, maka tidak menutup kemungkinan banyak pihak yang menggebyah uyah (mengeneralisir)

antara tasawuf dan sinkretisme agama. Di sisi lain, kita juga acapkali menemukan kelompok yang berusaha

mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua bagian. Pertama tasawuf sunni dan kedua tasawuf falsafi. Pengklasifikasian

tersebut seolah-olah telah menjadi sebuah keniscayaan ilmiah, namun bila kita kaji ulang justru pengklasifikasian

tersebut seolah-olah memberikan klaim sepihak terhadap tasawuf orisinil (sesuai dengan syari'at) dan tidak menyimpang

dari rel-rel agama. Keberpihakan tersebut seolah-olah dianugerahkan kepada tasawuf sunni, sedangkan tasawuf yang

menyimpang divonis sebagai tasawuf falsafi. Sebenarnya kalau kita kembali pada titik tolak yang menyatakan bahwa

tasawuf sebagai pengalaman spiritual yang sangat erat kaitannya dengan individu, tentu standar yang kita gunakan

untuk menentukan orisinil atau tidaknya sesuatu adalah standar yang lebih obyektif dan komprehensif. Dengan kata lain,

apabila kita hanya membatasi standar tersebut dengan esensi iman dan islam saja niscaya kita akan terjebak dalam

kebuntuan hitam di atas putih. Tapi bila standar iman, islam dan ihsan kita maksimalkan secara proporsional, tentu kita

Pondok Pesantren Salafiyah Ma'dinul'Ulum Campurdarat Tulungagung Jawa Timur Indonesia

http://pontrenmadinululum.radiomadufm.com Menggunakan Joomla! Generated: 2 April, 2009, 14:41

tidak akan terjebak dengan klasifikasi sepihak tersebut. Sebab pada dasarnya, tasawuf falsafi bukanlah tasawuf sesat,

akan tetapi sebuah penga¬laman spiritual pribadi, yang mungkin hanya dipahami oleh mereka yang merasakan,

sedangkan kita hanya meng¬amati dari permukaan saja. Sebagaimana kearifan Saidina al-Khidlr yang tidak dipa¬hami

oleh Nabi Musa, memang sepintas Saidina al-Khidlr melakukan tindakan kriminal dalam kaca mata keagamaan Nabi

Musa. Tapi sebenarnya Saidina al-Khidlr mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Nabi Musa. Begitu juga yang dialami

oleh Syekh Abu Manshur al-Hallaj ra. yang identik dengan "Ana al-Haq" dan Syekh Ibnu Arabi ra. yang tindakannya

selalu dikate¬gorikan sebagai Syathahat al-Shufiyyah. Sebab realitanya banyak pihak yang tidak mampu menangkap

spirit dasar ajaran Islam melalui bashirah (mata hati) yang akan mengantarkan seseorang untuk memahami hakekat

sesuatu; tidak hanya tertipu dengan kemasan belaka. Walaupun realitanya fenomena tersebut sering dimanfaatkan oleh

segelintir orang sebagai pengakuan palsu dan pemahaman yang tidak berdasar yang harus kita waspadai. Dari sini

dalam pandangan penulis klasifikasi tersebut perlu ditinjau ulang kembali. Apabila memang klasifikasi tersebut didasari

atas tipologi dan model yang berbeda, mungkin hal itu sah-sah saja. Namun bila klasifikasi tersebut ditujukan sebagai

sebuah vonis sesat, yang ditemukan dalam sebuah tipologi tasawuf, berarti tuduhan tersebut seharusnya dikembalikan

kepada pelaku, bukan pada substansi ajarannya. Sebab realitanya tasawuf memiliki corak yang beraneka ragam dan

akan senantiasa peka ruang dan waktu, tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Tidak ada komentar: